A. Demam
1. Definisi Demam
Demam yang berarti suhu tubuh diatas batas normal, dapat disebabkan oleh kelainan didalam otak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu (Guyton, 2007). Demam (fever, febris) adalah kenaikan suhu tubuh di atas variasi sirkadian yang normal sebagai akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior (Harrison, 2000).
Pirogen adalah zat yang menimbulkan efek demam. Pirogen yang dilepaskan dari bakteri toksik atau pirogen yang dilepaskan dari generasi jaringan tubuh dapat menyebabkan demam selama keadaan sakit. Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat di dalam jaringan atau dalam darah, keduanya akan di fagositosis oleh leukosit darah, makrofag jaringan dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interlukin-1 yang disebut leukosit, pirogen endogen ke dalam cairan tubuh (Guyton, 2007).
Suhu tubuh normal berkisar antara 36,1 ºC- 37,8 ºC. Suhu subnormal dibawah 36 ºC. Dengan demam pada umumnya diartikan suhu tubuh diatas 37,8 ºC bila di ukur secara oral dan 38°C di ukur secara rektal. Hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai setinggi 41, ºC atau lebih (Soedarmo et al, 2000).
2. Etiologi Demam
Demam disebabkan kenaikan set point atau adanya ketidakseimbangan antara produksi dan pengeluaran panas. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan peningkatan set point adalah : a) penyakit infeksi, meliputi infeksi bakteri, virus, ricketsia, chlamydia atau parasit; b) trauma mekanis oleh karena kerusakan jaringan. Demam yang disebabkan oleh trauma mekanis biasanya muncul 1 sampai 2 hari setelah kejadian; c) tumor, misalnya tumor yang berasal dari system retikuloendotelial seperti : Hodgkin´s Lymphoma, Non Hodgkin´s Lymphoma, acute Lymphocytic Leukemia Histioctyosis juga dapat mengakibatkan demam; d) kelainan hematology, seperti anemia hemolitik; e) kelainan Vaskuler, seperti infark pada jantung paru dan otak; f) penyakit imunologi, seperti sistemik lupus erymateous, drug fever; g). kelainan metabolik, seperti gout, porfiria, hiperglikemia, krisis tiroid, addisionan (Pusponegoro, 1999).
3. Fisiologi Demam
Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persarafan umpan balik dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus. Agar mekanisme umpan balik ini dapat berlangsung, harus juga tersedia pendetektor suhu untuk menentukan kapan suhu tubuh menjadi sangat panas atau dingin. Walaupun banyak sinyal sensorik suhu berasal dari reseptor perifer, sinyal ini membantu pengaturan suhu tubuh terutama melalui hipotalamus. Area hipotalamus yang dirangsang oleh sinyal sensorik terletak secara bilateral pada hipotalamus posterior kira-kira setinggi korpus mamilaris. Sinyal sensorik suhu dari area preoptik di hipotalamus anterior juga dihantarkaan ke dalam area hipotalamus posterior ini. Disini sinyal dari area preoptik dan sinyal dari bagian tubuh yang lain dikombinasikan dan digabung untuk mengatur reaksi pembentukan panas atau reaksi penyimpanan panas di dalam tubuh (Guyton, 2007)
4. Patofisiologi Demam
Peninggian suhu tubuh disebabkan beberapa keadaan. Demam terjadi sebagai respon tubuh terhadap peningkatan set point. Ketika set-point dipusat pengaturan. Suhu hipotalamus menjadi lebih tinggi dari normal. Semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh terlibat termasuk penyimpanan panas dan peningkatan pembentukan panas. Bila laju pembentukan panas didalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas. Panas akan timbul didalam tubuh dan suhu tubuh akan meningkat. Sebaliknya bila kehilangan panas lebih besar, panas tubuh dan suhu tubuh akan menurun (Guyton, 2007). Patofisiologi demam terlihat pada skema berikut:
Gambar 1. Patofisiologi demam
5. Manifestasi Klinis Demam
Dalam keadaan demam, keseimbangan antara panas yang diproduksi oleh jaringan khususnya oleh otot dan hati bergeser sehingga terjadi peningkatan suhu dalam tubuh. Demam merupakan kenaikan suhu tubuh diatas titik set point hipotalamus baik berhubungan dengan pirogen endogen maupun eksogen (Harrison, 2000 ; Guyton, 2007 ).
Pada keadaan dimana set point hipotalamus normal, pembentukan panas meningkat dan mekanisme pengeluaran panas normal, penderita merasa panas, ekstremitas panas, keringat banyak. Set point suhu kritis pada hipotalamus, terutama ditentukan oleh derajat aktivitas reseptor suhu panas pada area preoptik-hipotalamus anterior. Dibagian atas set point menandakan dimulainya berkeringat dan bagian bawah ditandai dengan dimulainya menggigil (Harrison, 2000 ; Guyton, 2007).
Apabila suhu tubuh meningkat melebihi suhu kritis, orang tersebut dapat mengalami heatstroke. Gejalanya meliputi pusing, rasa tidak enak pada perut yang kadang disertai muntah, kadang delirium, dan akhirnya hilang kesadaran bila suhu tubuh tidak segera turun. Gejala kedinginan yaitu perasaan dingin yang terjadi pada sebagian besar keadaan demam, merupakan bagian dari respons system saraf pusat terhadap set point termoregulasi yang meminta lebih banyak panas ( Harrison, 2000 ; Guyton, 2007 ).
6. Pendekatan Diagnostik
Sebagian besar demam yang terjadi disebabkan oleh bakteri, tumor otak, dan kaeadaan lingkungan yang dapat berakhir dengan heatstroke. Demam yang tiba-tiba tinggi lebih sering disebabkan oleh penyakit virus (Guyton, 2007). Penyebab demam pada bayi juga tersering adalah Streptotoccus grup-β dan bakteri gram negative. Pada bayi berumur 3-6 bulan yang paling sering karena Haemophilus influenza tipe –B. Sepsis lebih sering terjadi pada bayi kecil. Setelah anak berumur 3 bulan lebih jarang terjadi meningitis karena ia telah mempunyai kekebalan alami. Demam yang sering dijumpai pada usia ini disebabkan faringitis atau infeksi virus termasuk demam berdarah (Pusponegoro, 1999).
Banyaknya kemungkinan diagnostik sebagai penyebab demam pemeriksaan laboratorium sederhana dapat membantu untuk mengetahui etiologi demam. Jumlah lekosit lebih dari 15.000/µL dengan pergeseran ke kiri, laju endap darah (LED) lebih dari 30 mm/jam pada anak dengan demam lebih dari 40ºC menunjukkan risiko 5 kali lipat mengalami bakterimea dibandingkan anak dengan suhu 40ºC tanpa peningkatan lekosit dan LED (Pusponegoro, 1999).
7. Tatalaksana Demam
Pada keadaan hiperpireksia (demam≥41ºC) jelas diperlukan penggunaan obat-obat antipiretik,dan pendinginan fisis sementara set point hipotalamus diatur kembali dengan obat-obat antipiretik akan mempercepat proses tersebut. Obat-obat antipiretik juga mensupresi gejala konstitusional yang menyertai demam (mialgia, kedinginan, nyeri kepala, dan lain-lain).
Depkes RI (1997) menjabarkan beberapa penanganan dan pengenalan resiko dari demam yang dapat dikenali atau dipahami oleh orang tua dan dapat dilaksanakan dirumah, meliputi: a) jika anak demam dan masih menyusui maka berikan ASI lebih sering; b) beri minum lebih sering dan lebih banyak; c) bila anak demam tidak dianjurkan untuk tidak diselimuti atau diberikan baju tebal; d) berikan kompres air biasa atau hangat; e) bila anak demam, tidak diperbolehkan memberikan kompres dengan air dingin karena anak bisa mengigil; f) jika demam tinggi, beri obat penurun panas sesuai dosis; g) daerah endemis malaria, dianjurkan untuk tidur menggunakan kulambu. Tanda bahaya dari demam yang perlu segera ditangani oleh orang tua adalah: a) demam disertai kejang ; b) demam tidak turun dalam 2 hari; c) demam disertai bintik-bintik merah, perdarahan di hidung dan BAB berwarna hitam.
B. Kejang Demam
1. Definisi Kejang Demam
Kejang demam adalah kejang yang berhubungan dengan demam (suhu diatas 38,4ºC per rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut (Pusponegoro, 2004 ; Lumbantobing, 2000). Kejang demam adalah tergantung umur dan jarang sebelum umur 9 bulan dan sesudah umur 5 tahun. Puncak umur mulainya adalah sekitar 14-18 bulan dan insiden mendekati 3-4 % anak kecil (Nelson et al, 2000).
2. Angka Kejadian / Insidensi Kejang Demam
Dari penelitian oleh berbagai pakar didapatkan bahwa sekitar 2,2 % - 5 % anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai usia 5 tahun. Di Jepang insidensi, kejang demam lebih tinggi lagi yang diteliti oleh Maeda dkk, (1993) didapatkan angka 9,7 % (pada pria 10,5 % dan pada wanita 8,9 %) dan Tsuboi (1986) mendapatkan angka sekitar 7 % (Lumbantobing, 2002).
Kejang demam merupakan kejang yang sering dijumpai pada masa anak- anak. Terjadi pada 2 -5 % anak berumur 6 bulan sampai 3 tahun, insidens tertinggi pada umur 18 bulan (Pusponegoro, 2004).
Dari berbagai hasil penelitian didapatkan bahwa kejang demam agak lebih sering dijumpai pada anak laki- laki daripada perempuan, dengan perbandingan yang berkisar antara 1,4 : 1 dan 1,2 :1. Miyake dkk (1992) mendapatkan 60 adalah laki- laki dan 52 perempuan. Millichap(1968) mengumpulkan 29 laporan mengenai kejang demam dan mendapatkan bahwa dari 4.903 penderita kejang demam, perbandingan pria dan wanita ialah 1,4 : 1. Penelitian Lumbantobing (1975) terhadap 297 penderita kejang demam yang ditelitinya 165 anak adalah laki – laki dan 132 anak wanita mendapatkan perbandingan anak laki- laki dan perempuan adalah 1,25 : 1 (Lumbantobing, 1995).
3. Patifisiologi Kejang Demam
Kejang terjadi akibat lepas muatan listrik yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadan patologik.
Peristiwa kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi diantaranya: a) instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan; b) neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan; c) kelainan polarisasi, hipolarisasi, atau selang waktu dalam depolarisasi yang disebabkan oleh asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GAMA); d) ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit yang menggangu homeostatis neuron sehingga terjadi gangguan depolarisasi neuron.
Selama proses kejang kebutuhan akan energi meningkat akbibat dari hiperaktivitas neuron, lepas muatan listrik sel-sel saraf meningkat, muatan listrik sel-sel motorik meningkat pula, aliran darah keotak meningkat demikian juga respirasi dan glokolisis jaringan (Price and Wilson, 2006).
Patofisiologi kejang demam terlihat pada skema berikut:
Gambar 2. Patofisiologi Kejang Demam
4. Klasifikasi Kejang Demam
Umumnya kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria untuk penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak dan lainnya.
Prichard dan MC Greal (1958) cit Lumbantobing, (1995) membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu: a) kejang demam sederhana; b) kejang demam tidak khas. Ciri-ciri kejang demam sederhana ialah 1) kejangnya bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri yang kejang sama seperti yang kanan; 2) usia penderita antara 6 bulan – 4 tahun; 3) suhu 100 ºF ( 37,78 ºC ) atau lebih; 3). lamanya kejang berlangsung kurang dari 30 menit 4) keadaan neurology (fungsi saraf) normal dan setelah kejang juga tetap normal. 5) EEG (electro encephalography) – rekaman otak yang dibuat setelah tidak demam adalah normal. Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut di atas digolongkannya sebagai kejang demam tidak khas.
Livingston (1954) cit Lumbantobing, (1995) membagi kejang demam menjadi 2 golongan tetapi dengan ciri-ciri yang sedikit berbeda. Ciri-ciri tersebut meliputi : kejang demam sederhana dan epilepsi yang dicetuskan oleh demam. Ciri kejang demam sederhana ialah: a). kejang bersifat umum; b). lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit); c). usia waktu kejang demam muncul kurang dari 6 tahun; d). frekuensi serangan 1 – 4 kali dalam satu tahun; e). EEG normal. Epilepsi yang dicetuskan oleh demam masih menurut sumber yang sama ialah: a). kejang berlangsung lama atau bersifat fokal/setempat; b). usia penderita lebih dari 6 tahun saat serangan kejang demam pertama; c). frekuensi serangan kejang melebihi 4 kali dalam satu tahun; d). gambaran EEG, yang dibuat setelah anak tidak demam lagi, adalah abnormal.
Fukuyama (1963) cit Lumbantobing, (1995) juga membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu: kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut, yaitu: a). dikeluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi; b). sebelumnya tidak ada riwayat cidera otak oleh penyebab apapun; c). serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun; d). lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit; e). kejang tidak bersifat fokal; f). tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas paska kejang; g). Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormalitas perkembangan; h). kejang tidak berulang dalam waktu singkat.
5. Etiologi Kejang Demam
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam : demam itu sendiri (tonsillitis, faringitis, otitis media akut, gastroenteritis, bronchitis, bronkopneumoni, morbili, varisela, dan dengue), demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau keaddaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit, dan ensefalitas viral (Dewanto et al, 2007).
Kejang demam adalah kejang yang timbul pada suhu badan yang tinggi (demam). Demamnya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai sebab terutama infeksi. Sekitar 4,8 % - 45 % penderita gastroenteritis oleh kuman shigella mengalami kejang demam dibanding gastroenteritis oleh kuman penyebab lainnya dimana angka kejadian kejang demam hanya sekitar 1 %. Penelitian yang dilaksanakan oleh Lahat dkk pada tahun 1984 membuktikan bahwa tingginya angka kejadian kejang demam pada shigellosis dan salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang dihasilkan kuman bersangkutan (Lumbantobing, 1995 ).
Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam, misalnya: disertai dengan adanya faktor-faktor pencetus terjadinya kejang demam yaitu: a) demam itu sendiri; b). efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak; c). respons alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi; d). perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit; e). ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas; f) gabungan semua faktor tersebut di atas (Lumbantobing, 1995 ).
Penelitian yang telah dilakukan Lumbantobing (1995) pada penderita kejang demam ternyata insiden tonsillitis/faringitis, otitis media akut dan gastroenteritis cukup tinggi, yaitu berturut 34 %, 31 %, dan 27 %. Millchap di Amerika Serikat mendapatkan bahwa pada episode kejang demam pada 110 anak, penyebab demamnya ialah tonsillitis atau faringitis akut 54 %, otitis media akut 17 %, morbili 7 %, bronchitis atau pneumonia akut 6%, gastroenteritis 3 %, varisela 2%, roseola infatum 1,5 %, mumps (gondongan) 1,5 %, rubella (campak Jerman) 0,5 %, herpangina 0,5 % dan tidak diketahui 7 % .
6. Manifestasi Klinis Kejang Demam
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39˚C atau lebih. Kejang khas menyeluruh, tonik-klonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat paska kejang.
Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh. Ketika demam tidak lagi ada pada saat anak sampai di rumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan penyebab demam dan mengesampingkan meningitis. Jika ada keragu-raguan berkenaan dengan kemungkinan meningitis, fungsi lumbal dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS) terindikasi. Infeksi virus saluran pernapasan atas, roseola, dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam yang paling sering. Sekitar 50 % anak menderita kejang demam berulang dan sebagian kecil menderita kejang berulang berkali-kali.
Faktor resiko untuk perkembangan epilepsi sebagai komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi keluarga positif, kejang demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama atau kejang atipik, tanda perkembangan yang terlambat, dan pemeriksaan neurologist abnormal (Nelson et al, 2000).
7. Perawatan Kejang Demam
Pada sebagian besar kasus kejang demam berlangsung singkat. Dalam hal demikian tindakan yang perlu ialah mencari penyebab demam, memberikan pengobatan yang adekuat terhadap penyebab tersebut, misalnya pemberian antibiotik yang sesuai untuk infeksi. Untuk mencegah agar kejang tidak berulang kembali sebaiknya diberi antikonvulsan (Lumbatonbing, 1995).
Perawatan yang perlu dilakukan sebelum terjadi kejang demam meliputi: a) anjurkan anak untuk segera berbaring dan beristirahat; b) jangan pernah menyelimuti anak dengan selimut tebal; c) beri minum lebih sering dan lebih banyak; d) berikan kompres air biasa atau hangat; e) beri obat penurun panas sesuai dosis yang ditentukan. Perawatan saat terjadi kejang demam meliputi: a) miringkan posisi anak agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lendir dari mulut; b) jalan napas dijaga agar terbuka supaya suplai oksigen tetap terjamin; c) jangan memberi kompres dengan es atau alkohol karena anak akan menggigil dan suhu di dalam tubuh justru meningkat; d) selimut dan pembungkus badan harus dibuka agar pendinginan badan berlangsung dengan baik; e) pemberian obat diazepam melalui anus. Perawatan setelah kejang demam meliputi; a) bila suhu badan anak tinggi berikan obat penurun panas; b) menyediakan diazepam per rektal menjadi pilihan pada anak dengan resiko tinggi berulangnya kejang demam (Putri dan Hasniah, 2009).
Bila kejang sedang berlangsung, harus segera dihentikan ini adalah untuk mencegah agar tidak terjadi kerusakan pada otak dan meninggalkan gejala sisa atau bahkan kematian (Lumbantobing, 1995).
C. Pengetahuan
1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain (Lumbantobing, 1995 ).
2. Tingkatan dalam pengetahuan
Dalam kaitannya pengetahuan maka pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yaitu :
a. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah (Notoatmodjo, 2003). Untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain mengenali, mendeskripsikan, menanamkan, mendefenisikan, memasang dan memilih (Rahayuningsih dan Priyatmojo, 2005).
b. Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar (Notoatmodjo, 2003). Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat mengklasifikasikan, menjelaskan, mengikhtisiarkan, meramalkan, dan membedakan terhadap objek yang dipelajari (Rahayuningsih dan Priyatmojo, 2005).
c. Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain (Notoatmodjo, 2003). Untuk dapat menilai orang mampu mengaplikasikan maka dengan cara medemonstrasikan, menghitung, menyelesaikan, menyesuaikan, mengoperasikan, menghubungkan, menyususun (Rahayuningsih dan Priyatmojo, 2005).
d. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari kemampuan menemukan perbedaan, memisahkan, membuat diagram, membuat estimasi, mengambil kesimpulan, meyusun urutan (Rahayuningsih dan Priyatmojo, 2005).
e. Sintesis (synthesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada (Notoatmodjo, 2003). Kemampuan seseorang dapat melakukan sintesis ini dapat diketahui bahwa yang bersangkutan dapat menggabungkan, menciptakan, merumuskan, merancang, membuat komposisi, menyusun kembali, merevisi (Rahayuningsih dan Priyatmojo, 2005).
f. Evaluasi (Evaluation) berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003). Dapat diketahui dengan cara yang bersangkutan dapat menimbang, mengkritik, membandingkan, memberi alasan, menyimpulkan, serta memberi dukungan (Rahayuningsih dan Priyatmojo, 2005).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan yaitu: a) sosial ekonomi, lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang. Bila ekonomi baik, tingkat pendidikan tinggi maka tingkat pengetahuan akan tinggi pula; b) kultur (budaya, agama), budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena informasi yang baru akan disaring sesuai atau tidaknya dengan budaya yang ada atau agama yang dianut; c) pendidikan, semakin tinggi pendidikan maka akan mudah menerima hal baru dan akan mudah menyesuaikan dengan hal baru tersebut; d) pengalaman berkaitan dengan umur dan pendidikan individu. Pendidikan tinggi, maka pengalaman akan lebih luas, sedangkan semakin tua umur seseorang maka pengalamannya akan semakin banyak (Notoatmodjo, 2007).
4. Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan
Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokan menjadi: a). Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit, gejala atau tanda-tanda penyakit, bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari pengobatan, bagaimana cara penularannya, bagaimana cara pencegahannya termasuk imunisasi, dan sebagainya; b). Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat meliputi: jenis-jenis makanan yang bergizi, manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatannya, pentingnya olahraga bagi kesehatan, penyakit-penyakit atau bahaya-bahaya merokok, minum-minuman keras, narkoba, pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi bagi kesehatan; c). Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan meliputi: manfaat air bersih, cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran yang sehat dan sampah, manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat, akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan (Notoadmojo, 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar