1. Skizofrenia
Skizofrenia adalah penyakit dimana kepribadian mengalami keretakan, alam pikir, perasaan, dan perbuatan individu terganggu. Gangguan ini ditandai dengan simtom-simtom positif seperti bicara kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi. Simtom-simtom negatif juga dimiliki oleh pasien skizofrenia, seperti menurunnya minat dan dorongan, berkurangnya keinginan bicara, miskin isi bicara, afek yang datar, serta terganggunya relasi personal (Strauss dalam Gunarsa, 2004). Salah satu bentuk penanganan pada pasien skizofrenia yaitu dengan pemberian obat-obatan neuroleptik.
2. Neuroleptik maligna sindrom
Obat-obatan neuroleptik memiliki efek samping, salah satunya yaitu neuroleptik maligna sindrom. Neuroleptik maligna sindrom merupakan komplikasi dari pengobatan dengan pemberian obat neuroleptik. Kondisi ini dapat terjadi beberapa jam setelah pemberian pertama obat atau terjadi beberapa tahun setelah pemberian pertama obat dan progresifnya berakhir dalam 24 hingga 72 jam berikutnya (Townsend, 1998). Pasien yang beresiko tinggi untuk mengalami suatu reaksi lanjut (akut), terancam kehidupannya karena pengobatan neuroleptik dapat didiagnosa ”potensial komplikasi: neuroleptik maligna sindrom” oleh perawat (Carpenito & Moyet, 1999). Diagnosa tersebut perlu ditegakkan agar pasien tidak mengalami neuroleptik maligna sindrom dengan tanda dan gejala seperti serangan yang cepat dari kekakuan otot, demam tinggi dan peningkatan enzim otot (CPK), dan leukositosis (Viedebeck, 2007). Hal ini juga diperkuat oleh Maslim (1994) yaitu suhu lebih dari 38o C (hyperpyrexia), terdapat sindrom ekstrapiramidal berat (rigidity), incontinensia urine, perubahan status mental hingga perubahan tingkat kesadaran. Perubahan-perubahan yang cepat pada pasien yang diberi obat-obatan neuroleptik ini perlu diwaspadai dan dicegah oleh perawat.
Kosensus untuk diagnosis neuroleptik maligna sindrom tidak ada. Salah satu kriterianya berasal dari Diagnostic and Statistical Manoal of Menta Disorder (DSM) IV yang mencakup hiperpireksia dan rigiditas otot, dengan salah satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidakstabilan otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar creatinin kinase dan myoglobinuria. Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manoal of Menta Disorder (DSM) IV, memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2.
Kriteria A: rigiditas otot dan demam.
Kriteria B: diaphoresis, disfagia, tremor, inkontinensia urin, perubahan kesadaran, mutisme, takikardi, tekanan darah meningkat atau labil,leukositisis, hasil laboratorium menunjukkan cidera otot.
3. Pengetahuan dan sikap
Pencegahan agar perubahan-perubahan tersebut tidak terjadi atau dapat segera ditanani yaitu dengan menegakkan diagnosa ”potensial komplikasi: neuroleptik maligna sindrom”. Diagnosa ”potensial komplikasi: neuroleptik maligna sindrom” ini dapat ditegakkan apabila perawat memiliki pengetahuan tentang neuroleptik maligna sindrom dan bagaimana sikap yang harus dilakukan perawat apabila menemukan pasien seperti itu. Pengetahuan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan yaitu sosial ekonomi, kultur (sosial budaya), pendidikan dan pengalaman (Nasution, 1999). Pengetahuan yang diikuti dengan kesediaan untuk bertindak merupakan suatu sikap (Purwanto, 1998).
Sikap adalah kecenderungan yang dipengaruhi oleh perasaan atau pandangan untuk bertindak sesuai sikap objek (Gerungan dalam Purwanto, 1998). Faktor yang mempengaruhi sikap yaitu pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan agama, serta pengaruh emosional. Teori fungsional Kartz mengatakan bahwa sikap menerima dan menolak perubahan berasal dari dasar motivasi (Azwar, 1995). Sikap adalah suatu pandangan, sehingga pengetahuan seseorang mengenai suatu objek tidak selalu sama dengan sikap orang itu terhadap objek tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar