1. Informed Consent
a. Pengertian
Menurut Hanafiah dan Amir informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent. Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan atau telah diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Informed consent adalah persetujuan yang diberikan kepada dokter setelah pasien mendapat penjelasan atau informasi mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya (Komalawati, 1989), juga tentang risiko penting yang potensial, keuntungan dan alternatif yang ada pada klien (Potter and Perry, 1993).
Pengertian informed consent (persetujuan tindakan kedokteran) menurut Permenkes RI Nomor : 290/Menkes/Per/III/2008 adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tenaga kesehatan yang diatur dalam ketentuan tersebut meliputi dokter umum atau dokter spesialis dan dokter gigi spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek perseorangan atau bersama.
Informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter-pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang informed consent. Formulir itu hanya merupakan pengukuhan atau pendokumentasian dari apa yang telah disepakati (Appelbaum cit Guwandi, 1993).
b. Bentuk Informed Consent
Menurut Hanafiah dan Amir (1999) informed consent terdiri dari dua bentuk yaitu :
1) Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied consent). Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa ada pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap oleh tenaga kesehatan dari sikap dan tindakan pasien, 1) Keadaan normal. Keadaan yang dimaksud dalam hal ini adalah izin atau persetujuan yang diberikan oleh pasien apabila akan dilakukan tindakan yang merupakan tindakan yang biasa dilakukan atau pemeriksaan rutin, 2) Keadaan darurat. Keadaan yang dimaksud dalam hal ini apabila pasien dalam keadaan gawat, sedangkan tenaga kesehatan memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan tidak dapat memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak ada ditempat, maka tenaga kesehatan dapat melakukan tindakan medik yang terbaik, tanpa harus menunggu kehadiran keluarga.
2) Dinyatakan (Expressed consent). Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian. 1) Lisan. Dalam hal ini persetujuan disampaikan dalam pernyataan lisan atau kata-kata. Biasanya diberikan bila akan dilakukan pemeriksaan atau tindakan-tindakan rutin. 2) Tulisan. Dalam hal ini persetujuan disampaikan dalam bentuk tertulis diatas kertas. Persetujuan ini diberikan pada tindakan-tindakan yang mempunyai risiko yang tidak dapat diperhitungkan.
c. Informasi Informed Consent
Menurut Permenkes RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran, yang berkaitan dengan informasi meliputi :
Pasal 4
a) Informasi tentang tindakan kedokteran harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta.
b) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi.
c) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (2) dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat atau paramedik lainnya sebagai saksi.
Pasal 5
a) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari pada tindakan kedokteran yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun teraupetik.
b) Informasi diberikan secara lisan.
c) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.
d) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga pasien terdekat.
Pasal 6
a) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi tersebut.
b) Dalam keadaan tertentu dimana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud ayat (1) informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
c) Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan tidak invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Pasal 7
a) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
b) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.
c) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.
Mengenai apa yang harus disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang akan dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik diagnostik maupun terapi dan lain-lain, sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya.
Menurut Hanafiah dan Amir (1999) informasi itu meliputi a) diagnosa; b) terapi; c) cara kerja dan pengalaman dokter yang melakukan; d) kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lain; e) resiko; f) keuntungan terapi; g) prognosa.
Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi. Dalam kondisi demikian dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh perawat atau paramedik sebagai saksi. Penyampaian formulir untuk ditandatangani pasien atau keluarga tanpa penjelasan dan pembahasan secara lisan dengan pasien atau keluarga tidaklah memenuhi persyaratan.
Mengenai kapan disampaikan, tergantung pada waktu yang telah tersedia setelah dokter memutuskan akan melakukan tindakan medik tersebut. Pasien atau keluarga harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan keputusannya, sedangkan mengenai siapa yang seharusnya menyampaikan informasi, tergantung dari jenis tindakan yang akan dilakukan. Seperti tersebut dalam pasal 6 diatas bahwa untuk tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang melakukan operasi tersebut. Seandainya dokter yang bersangkutan tidak ada, maka informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab, sedangkan untuk tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan tidak invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal ini pencatatan atau dokumen pendelegasian sangatlah penting sebagai bukti bahwa telah terjadi pendelegasian wewenang.
Penyampaian informasi ini memerlukan kebijaksanaan dari dokter yang bersangkutan atau petugas yang ditunjuk dan harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kondisi pasien atau penerima informasi.
d. Output Informed Consent
1) Persetujuan. Inti dari persetujuan adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Berdasarkan UU Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 hal-hal yang berkaitan dengan persetujuan meliputi :
Pasal 45 :
a) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
b) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
c) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis.
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan.
3. Alternatif tindakan lain dan resikonya.
4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
5. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
d) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun secara lisan.
e) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
f) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 hal-hal yang berkaitan dengan persetujuan meliputi :
Pasal 2
a) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
b) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan
c) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.
d) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.
Pasal 3
a) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan.
b) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini tidak diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan.
c) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata-nyata atau secara diam-diam.
Sedangkan mengenai yang berhak memberikan persetujuan adalah :
Pasal 8
a) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat mental.
b) Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.
Pasal 9
a) Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatele) persetujuan diberikan oleh wali atau kurator.
b) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang tua atau wali atau kurator.
Pasal 10
Bagi pasien dibawah umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak mempunyai orang tua atau wali dan atau orang tua atau wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga atau induk semang.
Pasal 11
Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.
Dari uraian Permenkes tentang persetujuan diatas, yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien yang sudah dewasa (21 tahun atau lebih, atau telah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Untuk pasien dibawah umur 21 tahun dan pasien penderita gangguan jiwa, yang menandatangani atau yang berhak memberikan persetujuan adalah orangtua atau wali atau keluarga terdekat atau induk semang. Sedangkan untuk pasien dalam keadaan tidak sadar atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medik segera, maka tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.
Menurut Hanafiah dan Amir (1999), ada lima syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya persetujuan tindakan medik, yaitu 1) Diberikan secara bebas; 2) Diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian; 3) Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat memahami tindakan itu perlu dilakukan; 4) Mengenai sesuatu yang khas; 5) Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama.
2) Penolakan. Seperti dikemukakan pada bagian awal, tidak selamanya pasien atau keluarga setuju dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam hal situasi demikian, kalangan dokter maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien atau keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Ini disebut sebagai informed refusal (Hanafiah dan Amir, 1999).
Tidak ada hak dokter yang dapat memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter menganggap penolakan bisa berakibat gawat atau kematian pada pasien.
Bila dokter gagal dalam menyakinkan pasien pada alternatif tindakan yang diperlukan, maka untuk keamanan dikemudian hari, sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik yang diperlukan.
Dalam kaitannya transaksi terapeutik dokter dengan pasien, pernyataan penolakan pasien atau keluarga ini dianggap sebagai pemutusan transaksi terapeutik. Dengan demikian apa yang terjadi dibelakang hari tidak menjadi tanggung jawab dokter atau rumah sakit lagi.
e. Aspek Hukum untuk Informed Consent
Ketentuan berkaitan dengan aspek hukum untuk Informed Consent (persetujuan tindakan kedokteran) dari dokter dan perawat terhadap pasien berupa
Undang – Undang RI nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang meliputi :
Pasal 53
a) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan profesinya.
b) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
c) Tenaga kesehatan untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan medik terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
d) Ketentuan mengenai standar profesi-profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
Pasal 82
Barang siapa tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat 4. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp100 juta rupiah.
f. Faktor-faktor dalam Pengambilan Keputusan Informed Consent pasien pra bedah
1) Pendidikan.
Menurut Notoatmodjo (1993), pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Secara umum pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2003). Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yakni a) input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik (pelaku pendidikan); b) proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain); c) output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku).
Dalam hal ini pendidikan yang dimaksud adalah dalam bidang kesehatan, dimana merupakan aplikasi atau penerapan pendidikan didalam bidang kesehatan. Hasil (output) yang diharapkan dari pendidikan seseorang adalah perilaku yang dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan kesehatan.
Menurut Kerbala (1993), diantara faktor-faktor subyektif pasien yang turut mempengaruhi dalam proses penyampaian informasi (maupun pemberian persetujuan) ini adalah tingkat pendidikan. Bagi pasien yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas akan menanyakan periha penyakitnya sampai kepada hal-hal terkecil. Keingintahuan pasien seperti ini sangat besar sekali terhadap keadaan kesehatan, penyakit serta tindakan-tindakan medis yang akan diterapkan oleh dokter. Sebaliknya bagi pasien yang berpendidikan rendah dan kurang dapat memahami penjelasan dan informasi medis dokter akan selalu menerima dan menyetujui tindakan apapun yang akan dilakukan dokter. Persepsi dan penilaian mereka bahwa dokter itu selalu baik dan mengusahakan kesembuhan dirinya menjadi salah satu alasan mengapa pasien ini bersikap pasrah serta tidak akan bertanya macam-macam tentang penyakitnya kepada dokter.
2) Pengetahuan.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003)
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2003) mempunyai enam tingkatan, antara lain :
a. Tahu. Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
b. Memahami. Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi. Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
d. Analisis. Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi.
e. Sintesis. Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi. Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pengetahuan dapat dibedakan menjadi :
a. Sekedar tahu. Pada tingkat ini pengetahuannya mula-mula hanya sekedar tahu.
b. Betul-betul tahu. Suatu hal kita ketahui betul-betul nyata didukung oleh fakta dan tidak berdasarkan informasi.
c. Tahu bagaimana dan tahu akan, seseorang mengetahui secara pribadi sehingga tahu bagaiamana ia bertindak.
d. Tahu mengapa, pada tingkat ini terjadi akumulasi dari ketiga pengetahuan tersebut diatas dan menjadi pengalaman pribadi untuk mengatakan hal itu benar.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang, sehingga perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasarai oleh pengetahuan.
3) Sosial ekonomi.
Lingkungan sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Keadaan ekonomi yang relatif mencukupi akan mampu menyediakan fasilitas kesehatan. Selain itu keputusan-keputusan menyangkut kesehatan seseorang, apa yang hendak digunakan juga ditentukan oleh ketersediaan dan kemampuan ekonomi seseorang.
4) Sosial budaya.
Kebudayaan menurut Koentjoroningrat adalah keseluruhan kegiatan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Semuanya itu akan mempengaruhi terhadap tingkah laku seseorang (Kariyoso, 1994). Perilaku normal, kebiasaan dan nilai-nilai didalam suatu masayarakat akan menghasilkan suatu pola hidup masyarakat yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan selalu berubah, baik lama maupun cepat sesuai dengan peradaban manusia. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan kesehatan, sembuh dari suatu penyakit.
5) Sumber informasi.
Dengan adanya informasi-informasi tentang cara-cara hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, akan meningkatkan pengetahuan seseorang akan pentingnya kesehatan. Selanjutnya dengan pengetahuan tersebut akan menimbulkan kesadaran mereka dan akhirnya akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku, mengambil keputusan untuk meningkatkan kesehatan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2003)
Dalam pelaksanaan informed consent ada korelasi antara hak atas informasi dengan hak memberikan persetujuan. Fungsi informasi yang utama bagi pasien adalah sebagai dasar atau landasan bagi persetujuan (consent) yang akan ia berikan kepada dokter. Sehingga apabila informasi yang diberikan dokter itu kurang memadai atau dokter tidak memberikan informasi sama sekali, maka pasien tidak akan mempunyai landasan yang cukup untuk memutuskan memberi atau tidak memberi persetujuan kepada dokter. Suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien tanpa dilandasi oleh suatu informasi dari dokter yang tidak memadai dan tidak adequat atau tanpa informasi sama sekali maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali.
6) Mutu pelayanan.
Batasan tentang mutu pelayanan antara lain adalah (Azwar, 1994) :
a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati.
b. Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program.
c. Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri dari suatu barang jasa, yang didalamnya terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna
d. Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan .
Mutu pelayanan bersifat multi-dimensional. Mutu pelayanan kesehatan dari beberapa sudut pandang : pasien, petugas kesehatan dan manajer. Mutu merupakan fokus sentral dari tiap upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan. Untuk pasien mutu pelayanan berarti suatu empati, respek dan tanggap terhadap suatu kebutuhan, palayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka, diberikan secara ramah pada waktu mereka berkunjung. Untuk petugas kesehatan mutu pelayanan berarti bebas melakukan segala sesuatu secara professional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien sesuai dengan ilmu pengetahuan. Untuk manajer mutu pelayanan, kebutuhan untuk supervise, manajemen keuangan dan logistik, memiliki tenaga professional yang cukup dan bermutu (Wijono, 1999).
Penilaian mutu pelayanan meliputi 10 dimensi :
a. Tangibles (bukti nyata), yaitu : wujud kenyatan fisik yang meliputi fasilitas, peralatan, pegawai dan sarana komunikasi.
b. Reliability (kehandalan), yaitu : kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
c. Responsiveness (ketanggapan), yaitu : keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
d. Assurance (jaminan), yaitu : kemampuan, kesopanan dan sikap dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan.
e. Empathy (empati) yaitu: sifat dan kemampuan untuk memberikan perhatian penuh pada pasien, kemudahan dalam melakukan kontak, komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pelanggan secara individual.
f. Competence, artinya setiap perawat memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan pelayanan kesehatan.
g. Acces, yaitu meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui.
h. Communication, artinya meberikan informasi kepada pasien dengan bahasa yang mudah dipahami serta selalu mendengar saran dan keluhan pasien.
i. Security, yaitu aman dari bahaya atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik, kerahasiaan pasien.
j. Understanding knowing the costumer, yaitu usaha untu memenuhi kebutuhan pasien.
Menurut Kerbala (1993), pasien mempunyai hak untuk memilih rumah sakit yang ia anggap baik dapat melayani serta memberikan perawatan terhadap penyakit yang ia derita. Hal ini cukup penting karena apabila seseorang dirawat di suatu rumah sakit yang ia sendiri tidak menyukai rumah sakit tersebut karena hal-hal tertentu, misal : segi kebersihannya yang kurang baik atau karena sebab-sebab yang lain, maka tujuan pengobatan tidak akan tercapai. Dan apabila pasien tidak menyukai rumah sakitnya maka cenderung pasien akan meminta pindah rumah sakit lain. Kecocokan seorang pasien akan rumah sakit akan selalu dikaitkan dengan mutu pelayanan yang diberikan, mutu dalam perawatan dan cara pasien diperlakukan sebagai individu. Karena pasien merasa betah dan puas sehingga semua peraturan rumah sakit maupun dokter akan ia laksanakan dengan sukarela.
Kecocokan pasien akan rumah sakit dan juga mutu pelayanan yang diberikan juga akan membantu proses penyembuhan pasien. Sehingga dalam hal ini akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam meningkatkan kesehatannya.
2. Penatalaksanaan Pra Bedah
Segala bentuk prosedur pembedahan selalu didahului dengan suatu reaksi emosional tertentu oleh pasien, apakah reaksi tersebut jelas atau tersembunyi, normal atau abnormal. Sebagai contoh, ansietas praoperatif kemungkinan merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh, atau bahkan kehidupannya ( Brunner and Suddarth, 1997)
Pasien pra bedah dapat mengalami berbagai ketakutan, takut terhadap anesthesia, takut terhadap nyeri atau kematian, takut tentang ketidaktahuan atau takut tentang deformitas atau ancaman lain terhadap citra tubuh dapat menyebabkan ketidaktenangan atau ansietas. Selain ketakutan-ketakutan diatas, pasien sering mengalami kekhawatiran lain seperti masalah finansial, tanggung jawab terhadap keluarga dan kewajiban pekerjaan atau ketakutan akan prognosa yang buruk dan probabilitas kecacatan dimasa yang akan dating. Perawat dapat melakukan banyak hal untuk menghilangkan kesalahan konsep dan kesalahan informasi dan untuk memberikan penenangan ketika memungkinkan (Brunner and Suddart, 1997)
a. Persiapan fisik
Setiap pasien yang akan menjalani operasi secara rutin akan dipantau kondisi tubuhnya dan akan ditingkatkan keadaan umumnya sampai menjelang operasi. Berbagai pemeriksaan dan pengukuran yang dilakukan pada pasien sebelum operasi antara lain : pengukuran nadi, tekanan darah, suhu, pernapasan, pemeriksaan status gizi dan lain-lain. Selain itu pasien akan mendapatkan persiapan fisik lainnya yang akan menunjang kesuksesan jalannya operasi. Persiapan fisik yang dimaksud adalah :
1) Puasa. Tujuan puasa bagi pasien sebelum operasi adalah agar lambung dan usus pasien dalam keadaan kosong. Puasa yang dianjurkan berkisar 6-8 jam sebelum operasi dilakukan.
2) Pengosongan lambung dan usus. Pengosongan lambung sebelum operasi merupakan hal yang sangat penting untuk menghindari terjadinya aspirasi ketika pasien tidak sadar. Aspirasi terjadi ketika makanan dan air mengalami regurgitasi dari lambung dan masuk kedalam sistem paru. Pengosongan lambung pada tindakan operasi yang terencana dapat dilakukan dengan cara puasa. Selain lambung harus dikosongkan, usus pasien juga harus dibersihkan dari sisa-sisa kotoran (feses). Pembersihan dilakukan dengan cara huknah (enema atau laksatif) yaitu memasukkan cairan hangat ke dalam usus besar melalui anus dengan bantuan selang (tube) atau istilah dalam masyarakat dikenal dengan nama dipompa. Tujuannya adalah mencegah defekasi selama anestesi atau untuk mencegah trauma yang tidak diinginkan pada usus selama pembedahan.
3) Pencukuran daerah operasi. Pencukuran daerah operasi bertujuan untuk menghindari terjadinya infeksi pada derah yang akan dilakukan pembedahan, karena rambut atau bulu yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyinya kuman.
4) Perbaikan kondisi fisik (keadaan umum) pasien. Perbaikan keadaan umum pasien terutama bertujuan agar kondisi pasien memenuhi syarat untuk dioperasi. Kondisi fisik yang buruk dengan status gizi yang buruk dapat menyebabkan pasien mengalami berbagai komplikasi setelah operasi, misal terjadi infeksi setelah operasi, luka operasi menjadi lama sembuh.
5) Kebersihan personal (kulit, rambut, mulut). Kebersihan tubuh pasien saat akan operasi adalah hal yang penting karena tubuh yang kotor dapat menjadi sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah operasi.
b. Pendidikan pasien pra bedah
Manfaat dari instruksi praoperatif telah dikenal sejak lama. Setiap pasien diajarkan sebagai seorang individu, dengan mempertimbangkan segala keunikan ansietas, kebutuhan dan harapan-harapannya. Idealnya, instruksi dibagi dalam beberapa periode waktu untuk memungkinkan pasien mengalami asimilasi informasi dan untuk mengajukan pertanyaan ketika timbul pertanyaan.
Penyuluhan tersebut harus melebihi deskripsi tentang berbagai langkah-langkah prosedur dan harus mencakup penjelasan tentang sensasi yang pasien akan alami. Mengetahui apa yang diperkirakan akan membantu pasien mengantisipasi reaksi-reaksi tersebut dan dengan demikian mencapai tingkat relaksasi yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan sebaliknya.
Pendidikan pasien pra bedah meliputi :
1) Latihan napas dalam, batuk dan relaksasi. Salah satu tujuan dari asuhan keperawatan pra operatif adalah untuk mengajar pasien cara untuk meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anestesi umum. Hal ini dicapai dengan memperagakan pada pasien bagaimana melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas dengan lambat. Pasien diletakkan dalam posisi duduk untuk memberikan ekspansi paru yang maksimum. Setelah melakukan latihan napas dalam beberapa kali, pasien diinstruksikan untuk bernapas dalam-dalam, menghembuskan melaui mulut, ambil napas pendek, dan batukkan dari bagian paru yang paling dalam. Selain meningkatkan pernapasan, latian ini membantu pasien untuk relaksasi.
2) Perubahan posisi dan gerakan tubuh aktif. Tujuan peningkatan pergerakan tubuh secara hati-hati pada pascaoperatif adalah untuk memperbaiki sirkulasi, untuk mencegah stasis vena dan untuk menunjang fungsi pernapasan yang optimal
Pasien ditunjukkan bagaimana cara untuk berbalik dari satu sisi ke sisi lainnya dan cara untuk mengambil posisi lateral. Posisi ini akan digunakan pada pasca operatif (bahkan sebelum pasien sadar) dan dipertahankan setiap dua jam.
Latihan ekstremitas meliputi ekstensi dan fleksi lutut dan sendi panggul (sama dengan mengendarai sepeda selama posisi berbaring miring). Telapak kaki diputar seperti membuat lingkaran sebesar mungkin menggunakan ibu jari kaki. Siku dan bahu juga dilatih ROM. Pada awalnya pasien akan dibantu dan diingatkan untuk melakukan latihan ini, tetapi untuk selanjutnya dianjurkan untuk melakukan latihan secara mandiri. Tonus otot dipertahankan sehingga ambulasi akan lebih muda dilakukan.
3) Kontrol dan medikasi nyeri. Pasien diberitahukan bahwa medikasi praanestesi akan diberikan untuk meningkatkan relaksasi dan dapat menyebabkan rasa mengantuk dan kemungkinan haus. Pada pascaoperatif, medikasi akan diberikan untuk mengurangi nyeri dan mempertahankan rasa nyaman tetapi bukan untuk mencegah aktivitas yang sesuai atau pertukaran udara yang adekuat. Pasien diyakinkan bahwa medikasi tersebut akan tersedia pada pascaoperatif untuk menghilangkan nyeri.
4) Kontrol kognitif. Strategi kognitif dapat bermanfaat untuk menghilangkan ketegangan, ansietas yang berlebihan dan relaksasi. Contoh dari strategi tersebut meliputi yang berikut :
Imajinasi – pasien dianjurkan untuk berkonsentrasi pada pengalaman yang menyenangkan atau pemandangan yang menyenangkan.
Distrakasi – pasien dianjurkan untuk memikirkan cerita yang dapat dinikmati atau mendeklamasikan puisi favoritnya.
Pikiran optimis diri – menyatakan pikiran-pikiran optimistic (“Saya tahu semuanya akan berjlan dengan lancar”) dianjurkan.
c. Persiapan mental
Persiapan mental pasien merupakan hal yang penting dalam persiapan operasi. Persiapan mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien dan keluarganya, sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya telah disetujui dan biasanya pasien pulang tanpa operasi. Oleh karena itu persiapan mental pasien menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan didukung oleh keluarga/korang terdekat pasien.
Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga dan petugas kesehatan (perawat). Kehadiaran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung persiapan mental pasien. Perawat sebagai petugas kesehatan akan membantu pasien dalam persiapan mental dengan cara :
1) Membantu pasien mengetahui tentang tindakan-tindakan yang akan dialami pasien sebelum operasi, memberikan informasi pada pasien tentang waktu operasi, hal-hal yang akan dialami selama proses operasi.
2) Memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum operasi setiap tindakan persiapan operasi dilakukan, misalnya jika pasien harus puasa, perawat akan menjelaskan manfaat puasa, kapan harus puasa. Diharapkan dengan mendapat informasi lengkap tentang berbagai hal yang akan dialami dapat mengurangi kecemasan pasien dan mempersiapkan mental pasien dengan baik.
3) Memberi kesempatan pada pasien dan keluarga untuk berdoa bersama sebelum pasien diantar ke kamar operasi
3. Informed Consent pada Pasien Pra Bedah
Klien bedah datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan kondisi kesehatan yang berbeda-beda. Ada yang datang dengan riwayat mengalami trauma atau mungkin mereka akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk memperkuat atau menemukan adanya gangguan yang memerlukan tindakan pembedahan. Kedatangan mereka ke tempat pelayanan kesehatan menjadi awal terjadinya suatu hubungan dengan tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, maupun yang lainnya. Sehingga suatu pemikiran tentang keputusan pemberian pengobatan atas pasien harus terjadi secara kerjasama atau kolaborasi antara dokter dan pasien.
Klien pra bedah mempunyai latar belakang kondisi bio-psiko-sosio-spiritual yang berbeda-beda. Pemberian informasi secara optimal tentang tindakan pembedahan akan mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan. Informed consent artinya persetujuan yang diberikan seseorang, dalam hal ini berkaitan dengan keputusan untuk dilakukan pembedahan. Persetujuan yang diberikan merupakan wujud nyata akan pemahaman seseorang tentang informasi yang telah diberikan. Sehingga informed consent disini mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangkaian upaya pengobatan terutama bila pasien akan dilakukan tindakan pembedahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar