1. Harga Diri
Harga diri adalah penilaian seseorang terhadap nilai personalnya berdasarkan pada seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal dirinya (Stuart & Laraia, 2005). Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa sebagai seseorang yang penting dan berharga (Stuart, 2006).
Maslow mengidentifikasikan dua subset dari harga diri. Pertama, kebutuhan akan harga diri meliputi kekuatan, penerimaan, kekaguman, kompetensi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Kedua, kebutuhan akan rasa hormat atau dihargai oleh orang lain seperti status, kekuasaan, pengakuan, perhatian, kepentingan, dan penghargaan (Potter & Perry, 2005).
Pada intinya, harga diri berasal dari dua sumber yaitu diri sendiri dan orang lain. Penerimaan akan diri sendiri karena nilai dasar meskipun lemah dan terbatas. Seseorang yang menghargai dirinya sendiri dan merasa dihargai oleh orang lain biasanya memiliki harga diri yang tinggi. Sebaliknya, seseorang yang merasa tidak berharga dan menerima sedikit penghormatan dari orang lain biasanya memiliki harga diri yang rendah.
Harga diri atau rasa kita tentang nilai diri adalah suatu evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh seseorang. Berkaitan dengan evaluasi individual terhadap keefektifan di sekolah dan di tempat kerja, didalam keluarga, dan di lingkungan sosial. Keefektifan yang berkaitan dengan penilaian akan kompetensi seseorang dalam melakukan berbagai tugas (Bandura, cit Potter & Perry, 2005).
Harga diri dapat dipahami dengan memikirkan hubungan antara konsep diri seseorang dengan ideal diri. Seseorang yang konsep dirinya hampir memenuhi ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi, sementara seseorang yang konsep dirinya memiliki variasi luas dari ideal dirinya mempunyai harga diri yang rendah (Potter & Perry, 2005).
Beberapa hal yang perlu diketahui tentang harga diri adalah :
a. Harga Diri Sebagai Dimensi Dari Konsep Diri
Istilah konsep diri, gambaran diri, harga diri, nilai diri, respek diri, dalam penggunaannya sering kali dipertukarkan. Konsep diri berhubungan dengan komponen kognitif dari sistem diri, sedangkan harga diri sebagai komponen afektif (Craven & Hirnle, 2009). Konsep diri berkaitan dengan bagaimana orang “berpikir” tentang dirinya, sementara harga diri terkait dengan bagaimana orang “merasakan” tentang dirinya (Brown, cit Craven & Hirnle, 2009).
Menurut Berman, et al (2008), konsep diri adalah suatu kompleks ide yang mempunyai pengaruh terhadap :
1) Bagaimana seseorang berpikir, berbicara, dan bertindak
2) Bagaimana seseorang memandang dan memperlakukan orang lain
3) Pilihan yang dibuat seseorang
4) Kemampuan untuk mencintai dan dicintai
5) Kemampuan untuk mengambil tindakan dan mengubah sesuatu.
Jika ditelaah kembali asumsi dari Berman, et al diatas, dapat lebih ditegaskan bahwa konsep diri sebagai suatu kompleks ide merujuk pada keadaan kognitif seseorang, sedangkan harga diri berada pada dimensi afektif dari konsep diri.
Berikut ini adalah empat dimensi dari konsep diri :
1) Self-knowledge
Pengetahuan akan diri atau kesadaran diri meliputi pemahaman seseorang terhadap karakteristik dasar yang dimilikinya. Karakteristik yang terdiri dari umur, ras, pekerjaan, status sosial yang menggambarkan kekhasannya dalam berperilaku, perasaan, mood, dan karakteristik lainnya seperti murah hati, pemarah, ambisius, cerdas, seksi, dan lain sebagainya. Karakteristik-karakteristik ini ada yang stabil atau tidak bisa diubah dan tidak stabil. Karakteristik yang tidak bisa diubah misalnya jenis, kelamin, umur, dan ras (Craven & Hirnle, 2009).
2) Self-expectation
Harapan seseorang terhadap dirinya sendiri. Keinginan untuk menjadi seperti seseorang yang diharapkannya. Dapat berupa harapan yang realistis ataupun tidak realistis yang akan mengarahkan tujuan saat ini dan masa depannya. Jika tujuannya realistis, individu dapat mencapainya. Namun bila tujuannya tidak realistis, kegagalan bisa terjadi (Berman, et al, 2008 ; Craven & Hirnle, 2009).
3) Social self
Bagaimana seseorang memandang dirinya atau orang lain dalam interaksi sosial. Seseorang tidak mengetahui secara pasti pandangan orang lain terhadap dirinya sehingga membuat dirinya hanya bisa menebak dan tebakannya bisa saja jauh dari kenyataan. Sebaliknya, orang sering menggunakan topeng dalam kehidupan sosialnya untuk mencoba menutupi diri mereka yang sebenarnya (Craven & Hirnle, 2009).
4) Self-evaluation
Harga diri merupakan komponen evaluatif dan afektif dari konsep diri. Evaluasi diri adalah bagaimana seseorang dengan sadar mengkaji dirinya sendiri yang kemudian membentuk penilaian dan penghargaan terhadap dirinya (Berman, et al, 2008).
b. Batasan Perilaku Yang Berhubungan Dengan Harga Diri
Coopersmith, cit Craven & Hirnle (2009) , mengidentifikasikan beberapa kriteria dasar tebentuknya harga diri yaitu :
1) Power
Perasaan mampu mengontrol segala situasi yang terjadi dalam hidupnya serta mampu untuk mempengaruhi perilaku orang lain.
2) Meaning
Harga diri terbentuk saat seseorang merasa dicintai, dihormati dan diperhatikan oleh orang-orang yang berarti bagi dirinya.
3) Virtue
Seseorang merasa dirinya baik apabila tindakannya mencerminkan kepribadian, moral, dan nilai etik.
4) Competence
Harga diri positif berkembang melalui kesuksesan seseorang dalam mencapai tujuan atau harapan, baik harapan dirinya sendiri maupun harapan orang lain terhadap dirinya.
Bila keempat kriteria tersebut berhasil dikembangkan oleh seseorang maka akan terbentuk harga diri yang positif, sebaliknya jika kurang berhasil maka harga diri negatif yang terbentuk.
Beberapa perilaku yang menggambarkan harga diri positif menurut Stuart (2006) antara lain merasa berharga, bermartabat, dihormati, percaya pada nilai dirinya, menanggapi segala situasi dalam hidupnya secara asertif, dan merasa dirinya mirip dengan “seseorang” yang dia inginkan.
Harga diri negatif merupakan problem mayor dari kebanyakan orang. Secara afektif diekspresikan melalui kecemasan pada level sedang dan berat, evaluasi diri negatif, dan berhubungan dengan perasaan tidak berdaya, tidak tertolong, putus asa, kerapuhan, dan inadekuat (Stuart & Laraia, 2005). Sedangkan tingkah laku yang menggambarkan harga diri negatif yaitu defisit perawatan diri, penurunan produktivitas, perilaku destruktif yang diarahkan kepada diri sendiri dan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang lain, gangguan dalam berhubungan, menarik diri secara sosial dan realitas, gerakan lambat dan postur tubuh yang membungkuk, pengungkapan kemarahan serta menghindari kontak mata (Stuart, 2006 ; Berman, et al, 2008).
c. Faktor Predisposisi
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan harga diri seseorang menurut Stuart (2006) :
1) Persepsi dan respon dari orang terdekat yang tidak adekuat seperti penolakan orang tua dan harapan orang tua yang tidak realistis, sikap orang tua yang over posesif, over permisif, ataupun over protektif.
2) Kegagalan yang berulang kali
3) Ideal diri yang tidak realistis
4) Faktor genetik seperti penampilan fisik, ukuran tubuh dan kelemahan fisik herediter
5) Faktor lingkungan misalnya kecakapan intelektual sangat berarti bagi penghargaan diri seseorang yang berada dalam lingkungan akademik.
d. Stresor Pencetus
Menurut Stuart (2006), stresor pencetus mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal yaitu : trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologi atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan dan ketegangan peran berhubungan dengan peran dan posisi yang diharapkan dimana individu mengalaminya sebagai frustrasi. Ada 3 jenis transisi peran yaitu transisi peran perkembangan, situasi dan sehat-sakit. Transisi peran perkembangan termasuk tahap perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai dan tekanan untuk penyesuaian diri. Peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran dan kematian. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit, yang mungkin dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan bentuk, ukuran, penampilan dan fungsi tubuh, perubahan fisik berhubungan dengan tumbuh kembang normal, dan prosedur medis.
Penyakit akut dan kronik, trauma atau pembedahan bisa memberikan efek yang merugikan terhadap harga diri. Hal ini terjadi akibat stress yang dihasilkan menyebabkan ketegangan peran, mengubah harga diri dan akhirnya mengurangi penghargaan diri.
Menurut Kozier & Erb (1995), stresor yang mengancam harga diri dapat berasal dari stresor gambaran diri, peran dan identitas. Stresor gambaran diri, misalnya kehilangan anggota dan fungsi tubuh akibat amputasi,mastektomi, dan histerektomi serta perubahan bentuk tubuh akibat kehamilan, luka bakar berat, kolostomi,tracheostomi, dan larinngektomi. Stresor peran, misalnya kehilangan orang terdekat, perubahan atau kehilangan pekerjaan, keadaan sakit, hospitalisasi, peran ganda, dan konflik peran. Stresor identitas, misalnya perubahan dalam penampilan fisik, kemunduran kemampuan fisik, mental atau sensori, kegagalan mencapai tujuan, perhatian seksual, identitas diri yang tidak realistis, dan menjadi anggota dari kelompok minoritas.
e. Sumber Koping
Semua orang, betapapun terganggu perilakunya tetap mempunyai beberapa kelebihan personal yang dapat digunakan sebagai sumber koping (Stuart, 2006), antara lain :
1) Aktivitas olah raga dan aktivitas lain diluar rumah
2) Hobi dan kerajinan tangan
3) Seni yang ekspresif
4) Kesehatan dan perawatan diri
5) Pekerjaan, vokasi atau posisi
6) Kecerdasan
7) Imaginasi dan kreativitas
8) Hubungan interpersonal atau dukungan sosial.
f. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasanya digunakan yaitu pertahanan jangka pendek, pertahanan jangka panjang, dan mekanisme pertahanan ego. Pertahanan jangka pendek, melalui aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara, identitas pengganti sementara, menguatkan perasaan diri dan aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan individu. Pertahanan jangka panjang, melalui penutupan identitas dengan mengadopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang yang terdekatnya. Dapat juga dalam bentuk identitas negatif. Sedangkan mekanisme pertahanan ego termasuk penggunaan fantasi, disosiasi, proyeksi, pergeseran (displacement), berbalik marah terhadap diri sendiri, dan amuk (Stuart, 2006).
2. Kanker Payudara
Karsinoma payudara merupakan salah satu tumor ganas yang paling sering ditemukan pada wanita. Di Eropa Barat, Amerika Utara dan Negara maju lainnya, insiden karsinoma mammae menempati posisi pertama dari kanker kaum wanita (Desen, 2008). Hal-hal yang perlu dipelajari lebih lanjut pada kanker payudara antara lain :
1) Etiologi
Penyebab kanker payudara sampai saat ini diduga akibat interaksi yang rumit dari banyak faktor seperti faktor genetika, hormonal dan lingkungan (Diananda, 2008). Faktor-faktor tersebut bukan sebagai penyebab spesifik dari kanker tapi sebagai penunjang terjadinya kanker. Meskipun demikian, faktor-faktor ini penting dalam membantu mengembangkan program pencegahan. Selain itu, riset tentang faktor-faktor risiko akan membantu dalam mengembangkan strategi yang efektif untuk mencegah atau memodifikasi kanker payudara dimasa mendatang (Smeltzer & Bare, 2002). Faktor-faktor risiko tersebut meliputi :
a) Riwayat pribadi tentang kanker payudara. Risiko mengalami kanker payudara pada payudara sebelahnya meningkat hampir 1 % setiap tahun.
b) Anak perempuan atau saudara perempuan (hubungan keluarga langsung) dari wanita dengan kanker payudara. Risikonya meningkat dua kali jika ibunya terkena sebelum usia 60 tahun. Risiko meningkat 4-6 kali jika kanker payudara terjadi pada dua orang saudara langsung. Penelitian dewasa ini menunjukkan gen utama yang terkait dengan timbulnya karsinoma mamae adalah BRCA-1 dan BRCA-2.
c) Menarke dini dan menopause setelah usia 50 tahun juga meningkatkan risiko kanker payudara.
d) Nulipara dan usia maternal lanjut saat kelahiran anak pertama. Wanita yang mempunyai anak pertama setelah usia 30 tahun mempunyai risiko dua kali lipat untuk mengalami kanker payudara disbanding dengan wanita yang mempunyai anak pertama diusia sebelum 20 tahun.
e) Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tumor payudara jinak disertai perubahan epitel proliferatif mempunyai risiko dua kali lipat untuk mengalami kanker payudara. Wanita dengan hiperplasia tipikal mempunyai risiko sebesar empat kali lipat.
f) Pemajanan terhadap radiasi ionisasi setelah pubertas dan sebelum usia 30 tahun beresiko hampir dua kali lipat.
g) Wanita yang menggunakan kontraseptif oral dan terapi penggantian hormone berisiko terhadap kanker payudara.
h) Berbagai studi kasus-kelola menunjukkan diet tinggi lemak dan kalori berkaitan langsung dengan timbulnya kanker payudara. Terdapat data yang menunjukkan bahwa orang yang gemuk sesudah usia 50 tahun berpeluang lebih besar terkena kanker payudara. Terdapat laporan bahwa bir dapat meningkatkan kadar estrogen dalam tubuh, wanita yang setiap hari minum bir 3 kali keatas berisiko karsinoma meningkat 50-70 %. Penelitian lain menunjukkan diet tinggi selulosa, vitamin A dan protein kedele dapat menurunkan insiden kanker payudara.
2) Manifestasi Klinis
Sebagian besar bermanifestasi sebagai massa mamae yang tidak nyeri, sering kali ditemukan secara tidak sengaja. Lokasi massa kebanyakan di kuadran lateral atas, umumnya lesi soliter, consistence agak keras, batas tidak tegas, permukaan tidak licin, mobilitas kurang (pada stadium lanjut dapat terfiksasi kedinding toraks). Masa cenderung membesar bertahap, dalam beberapa bulan bertambah besar secara jelas (Desen, 2008).
Perubahan yang terjadi dikulit meliputi tanda lesung (kulit setempat menjadi cekung), perubahan kulit jeruk (peau d’orange), nodul satelit kulit, ulserasi dan perubahan inflamatorik. Pada papilla mamae ditemukan retraksi, distorsi papilla mamae, secret papilar, dan perubahan eksematoid. Pada kelenjar limfe regional terjadi pembesaran yang pada awalnya mobil kemudian dapat berkoalesensi atau adhesi dengan jaringan sekitarnya. Dengan perkembangan penyakit, kelenjar limfe supraklavikular juga dapat menyusul membesar (Desen, 2008).
3) Diagnosis
Diagnosis kanker dilakukan dengan urutan sebagai berikut (Desen, 2008 ; Schwartz,2002):
a) Anamnesis
Harus mencakup status haid, perkawinan, partus, laktasi, dan riwayat kelainan payudara sebelumnya, riwayat keluarga kanker, fungsi kelenjar tiroid, penyakit ginekolog dan lainnya. Dalam riwayat penyakit sekarang terutama harus diperhatikan waktu timbuknya massa, kecepatan pertumbuhan dan hubungan dengan haid.
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik berupa pencarian terhadap lesi-lesi yang mencurigakan diseluruh permukaan payudara. Palpasi dilakukan untuk menemukan pembesaran kelenjar limfe dan memastikan lokasi tumor.
c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi mamografi, USG, MRI mamae, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus, dan biopsi.
Prosedur diagnostik tersebut dilakukan untuk pentahapan kanker payudara. Pentahapan klinik yang paling banyak digunakan adalah sistem klasifikasi TNM yang mengevaluasi ukuran tumor, jumlah nodus limfe yang terkena, dan bukti adanya metastasis jauh (Smeltzer & Bare, 2002).
4) Penatalaksanaan
Setelah diagnosis keganasan ditegakkan dan luasnya penyakit ditentukan, harus diambil keputusan apakah kasus ini memiliki kemungkinan untuk sembuh. Jika kanker bersifat lokal tanpa bukti-bukti penyebaran, maka tujuan dari terapi adalah menghilangkan kanker dan menyembuhkan pasien (terapi kuratif). Jika kanker telah menyebar melampaui kemampuan terapi lokal, maka terapi ditujukan untuk paliasi yaitu mengontrol gejala-gejala yang dialami pasien dan mempertahankan aktivitas maksimum selama mungkin serta meningkatkan kualitas hidup pasien (Schwartz, 2002). Berbagai modalitas penanganan penyakit kanker di pilih sesuai dengan kedua tujuan tersebut.
Terapi pada tiap penderita kanker tidak sama, karena tidak ada keadaan sakit penderita yang sama. Untuk memilih terapi mana yang tepat pada seorang pasien, selain tujuan terapi perlu dipertimbangkan hal-hal keadaan tumor seperti lokasi, operabilitas dan sensitivitas, keadaan penderita seperti harapan hidup, status generalis seperti usia, keadaan fisik pasien, keadaan nutrisi, dan status penampilan (performance status) serta komorbiditasnya (Sukardja, 2000). Hal-tersebut kemudian menjadi faktor prognosis penyakit kanker, dimana diantara faktor-faktor tersebut memiliki keterkaitan. Jadi walaupun secara histopatologi keadaan tumor mengindikasikan pemilihan terapi tertentu, namun bila kondisi pasien tidak memungkinkan maka terapi akan tertunda untuk perbaikan kondisi pasien.
Modalitas terapi untuk kanker payudara terdiri atas pengobatan lokal dan pengobatan sistemik. Pengobatan lokal meliputi mastektomi radikal dengan atau tanpa rekonstruksi yang dimodifikasi dan BCT (Breast Conservation Therapy) dan terapi radiasi (Smeltzer & Bare, 2002). Pasien pada stadium 0, I, II dan sebagian stadium III disebut kanker mamae operable (Desen, 2008). Radioterapi mempunyai 3 tujuan yaitu radioterapi murni kuratif, radioterapi adjuvant dan radioterapi paliatif (Desen, 2008). Efek dari radiasi dapat berupa efek lokal maupun sistemik. Efek lokal antara lain perubahan integritas kulit dan mukosa seperti deskuamasi, eritema, allopesia, stomatitis dan xerostomia. Gangguan proliferasi sum-sum tulang menyebabkan anemia, trombositopenia dan leukopenia. Efek sistemik meliputi keletihan, malaise, sakit kepala, mual, dan muntah (Smeltzer & Bare, 2002).
Pengobatan sistemik meliputi kemoterapi, terapi hormon dan terapi biologi. Kemoterapi diberikan untuk menyingkirkan penyebaran mikrometastatik. Program kemoterapi mengabungkan beberapa preparat untuk meningkatkan penghancuran sel tumor dan untuk meminimalkan resistensi medikasi. Preparat kemoterapipeutik yang paling sering digunakan dalam kombinasi adalah cytoxan (C), methotrexate (M), fluororacil (F), dan adriamycin (A). Regimen CMF atau CAF adalah protokol pengobatan yang umum. Keputusan mengenai protokol kemoterapeutik didasarkan pada usia individual pasien, status fisik, dan penyakit. Efek samping dari kemoterapi antara lain mual, muntah, perubahan rasa kecap, alopesia, mukositis, dermatitis, keletihan, penambahan berat badan, depresi sum-sum tulang, dan amenore temporer atau permanen yang mengarah pada sterilitas (Smeltzer & Bare, 2002). Depresi sum-sum tulang mengakibatkan anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Menurunnya imunitas dapat terjadi karena leukopenia, sehingga pasien menjadi lebih rentan terhadap infeksi oportunistik. Faal wanita umumnya juga terganggu sehingga libido menurun dan pada wanita tidak terjadi ovulasi. Efek samping psikososial juga sering terjadi karena rontoknya rambut, sedangkan gangguan fungsi seksual dapat merusak kepribadian seseorang (Sjamsuhidajat & Jong, 2004).
Sebagian besar kejadian dan perkembangan kanker payudara memiliki kaitan tertentu dengan hormon, dewasa ini terutama dengan pemeriksaan reseptor estrogen (ER) dan progesteron (PR) dari tumor untuk menentukan efek terapi hormonal. Pasien dengan hasil pemeriksaan positif tergolong kanker payudara tipe bergantung hormon dan hasil terapi hormonal baik, sedangkan bila hasilnya negatif tergolong tidak bergantung hormon dan efek terapi hormon agak kurang. Terapi hormonal medikamentosa dalam 20 tahun terakhir ini sering digunakan adalah obat antiestrogen (tamoksifen), inhibitor aromatase (aminoglutetimid, nonsteroid anastrozol, dan leztrozol), obat sejenis LH-RH (luteinizing hormone-releasing hormone), dan obat sejenis progesteron (medroksiprogesteron asetat dan megestrol asetat).
Terapi biologis dengan mengunakan herseptin. Herseptin berefek terapi nyata terhadap karsinoma mamae dengan overekspresi gen cerB-2 (HER-2). Herseptin adalah suatu antibodi monoklonal hasil teknologi transgenik yang berefek anti protein HER-2 secara langsung dan menghasilkan efek sitotoksik yang dimediasi sel dan bergantung antibodi, sehingga berefek antitumor. Semakin banyak bukti mendukung herseptin sebagai suatu cara penting untuk terapi metastatic karsinoma mamae dengan overekspresi HER-2. Dapat dipakai secara tunggal maupun pada kemoterapi kombinasi. Efek klinisnya memuaskan dan dapat meningkatkan survival (Desen, 2008).
Kanker payudara dapat dicegah dengan beberapa tindakan seperti selektif dalam penggunaan obat hormonal dengan sepengetahuan dokter. Wanita dengan riwayat keluarga menderita kanker payudara atau yang berhubungan, jangan menggunakan alat kontrasepsi yang mengandung hormone. Lakukan pemeriksaan SADARI setiap bulan dan bagi wanita yang berisiko tinggi lakukan juga pemeriksaan mamografi secara berkala, terutama pada usia diatas 49 tahun. Memberikan air susu ibu pada selama mungkin dapat mengurangi risiko terkena kanker payudara karena selama proses menyusui, tubuh akan memproduksi hormone oksitosin yang dapat mengurangi produksi hormone estrogen. Serta dengan menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi buah dan sayuran segar, kedelai beserta produk olahannya mengandung fitoestrogen yang bernama genistein yang dapat menurunkan kejadian kanker payudara (Dalimartha, 2004).
5. Aspek Psikososial pada Penderita Kanker
Respon psikososial dari penderita kanker dapat berupa respon afektif dan konkrit. Respon afektif meliputi perasaan tidak pasti akan prognosis penyakit, perasaan negatif seperti takut, cemas, marah, penolakan, keputusaan, ketidakberdayaan, depresi sering dialami penderita terutama dalam 100 hari setelah diagnosis. Terjadi perubahan harga diri akibat perubahan penampilan fisik yang disebabkan oleh efek terapi seperti berat badan menurun, alopesia, perubahan pada kulit ataupun kehilangan anggota tubuh. Respon konkrit meliputi penurunan kemampuan dalam melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari, kehilangan pekerjaan atau perubahan peran dalam keluarga (Black & Hawks, 2005 ; LeMone & Burke, 2008).
Diagnosis kanker juga berdampak pada seluruh kehidupan keluarga. Bila penderita awalnya berperan sebagai tulang punggung keluarga, maka akibat keadaan sakitnya anggota keluarga yang lain terpaksa menggantikan perannya. Penyakit kanker juga berdampak pada finansial keluarga karena pengobatan kanker yang tidak murah dan membutuhkan waktu yang lama (Black & Hawks, 2005). Harga diri memberi dampak terhadap kualitas hidup dan survival pasien kanker. Harga diri yang tinggi tidak hanya meningkatkan motivasi, tetapi juga meningkat kesejahteraan fisik pasien (Dirksen, 2000 ; Allison, et al 2003). Pasien kanker dengan berbagai perubahan fisik yang dialaminya merasa diri aneh dan beranggapan bahwa keluarganya dan orang lain memandang aneh terhadap dirinya, sehingga dukungan sosial sangat dibutuhkan untuk mengatasi penurunan harga diri pada pasien kanker (Pedro, L., 1999).
Kanker dapat mempengaruhi kemampuan koping, pengelolaan perubahan tubuh, dan fungsi seksual. Oleh karena itu perawat bertanggung jawab untuk meningkatkan koping yang efektif, memfasilitasi respons yang sehat terhadap perubahan tubuh, dan mendukung penyelesaian masalah seksual. Tindakan keperawatan dalam aspek psikososial sangat penting untuk membantu klien mencapai tingkat adapatasi yang tertinggi dalam menghadapi penyakitnya, program perawatannya serta pengobatannya.
3. Performance Status
Secara umum, performance status atau status penampilan adalah suatu metode untuk mengukur status fungsional pasien pada waktu tertentu (sewaktu-waktu) (Testa & Simonson, 1996). Performance Status atau Functional Status menggambarkan kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh. Namun pada penggunaannya, istilah Performance Status sering di gunakan di bidang onkologi sedangkan Functional Status di bidang geriatri (Wedding, et al, 2007).
Performance status pasien kanker adalah suatu ukuran tingkat kesejahteraan dan tingkat fungsi aktual pasien kanker berupa kemampuan pasien untuk merawat diri serta tingkat ambulasi pasien (Yates, Chalmer & McKegney, 1980 ; Taylor, et al, 1999). Dengan pengkajian status fungsional, klinisi dapat menggolongkan pasien kanker berdasarkan efek dari proses penyakit terhadap fungsi fisiknya. Sehingga pengkajian status fungsional sering digunakan untuk melengkapi informasi medis pasien kanker (Mor, et al, 1984). Skala ini juga membantu perawat dalam mengkaji efek kanker terhadap aktivitas klien dan menuntun penentuan intervensi yang sesuai untuk mengatasi adanya defisit (Black & Hawks, 2005).
Performance status (PS) memiliki nilai yang penting dalam praktek onkologi klinik yaitu sebagai salah satu faktor prognosis berdasarkan kondisi biologis penderita dan untuk mengevaluasi toleransi pasien terhadap kemoterapi. Peran PS sebagai salah satu faktor prognosis telah dibuktikan secara statistik dalam penelitian retrospektif maupun prospektif yang menunjukkan bahwa PS memiliki korelasi yang kuat dengan lama bertahan hidup pasien-pasien pada berbagai jenis kanker (Mor, et al, 1984). Median survival secara berurutan dari PS 0 (indeks Karnofsky 100), PS 1 (indeks Karnofsky 80-90), dan PS 2 (indeks Karnofsky 60-70) yaitu 9,4, 6,4, dan 3,3. Lama bertahan hidup pasien dengan PS 2 lebih pendek dari pada PS 1 dan PS 0 (Jiroutek, et al, 1998 cit Gridelli, et al, 2004). Selain itu, skala PS juga bisa digunakan dalam mengevaluasi keberhasilan terapi. Berbagai penelitian melaporkan bahwa umumnya respon terhadap kemoterapi didapatkan lebih memuaskan pada PS <2 dari pada PS yang lebih rendah dari itu (Barmawi, 1991).
Instrumen pengukuran PS diantaranya adalah Karnofsky Perfomance Status (KPS) Scale. Skala KPS tersusun dari empat kategori yaitu kemampuan perawatan diri, aktivitas sehari-hari, kemampuan untuk melakukan pekerjaan, dan gejala penyakit yang dialami oleh pasien kanker. Empat kategori ini kemudian dikembangkan menjadi 18 item dan dilakukan uji validitas. Setelah diujikan ternyata hanya beberapa item yang memiliki korelasi (Pearson Product Moment, r > 0,4), antara lain aktivitas mandi, gosok gigi, dan berpakaian untuk kategori perawatan diri, kemampuan berjalan dan mengendarai kendaraan bermotor untuk kategori aktivitas sehari-hari, kemampuan melakukan pekerjaan saat berada dirumah secara total atau hanya separuh waktu untuk kategori pekerjaan, dan untuk kategori gejala penyakit yaitu perubahan berat badan dan keletihan saat beraktivitas. Dari item-item itulah dikembangkan pertanyaan untuk wawancara (Schag, Heinrich & Ganz, 1984).
Skor KPS terdiri atas 11 jenjang nilai, mulai dari kemampuan untuk berfungsi secara normal (100) hingga kematian (0) ( Karnofsky, et al, 1949). Skala ini di beri nama sesuai dengan nama belakang Dr. David Karnofsky, seseorang yang membuat skala ini dengan bantuan Dr. Joseph Burchenal pada tahun 1949.
Berikut ini adalah rentang skor KPS :
100 = normal, tidak ada keluhan, tidak ada tanda penyakit
90 = mampu aktivitas normal, tanda-tanda minimal penyakit
80 = aktivitas normal dengan sedikit kesukaran, beberapa tanda penyakit
70 = mampu menjalankan keperluan sendiri, tidak mampu menjalankan
pekerjaan
60 = mampu menjalankan sebagian besar keperluan sendiri, selalu
memerlukan bantuan
50 = memerlukan bantuan cukup banyak, juga pertolongan medis
40 = tidak mampu merawat diri sendiri, tidak dapat bekerja lagi
30 = sakit berat, indikasi perawatan di rumah sakit
20 = sakit sangat berat
10 = sekarat
0 = mati.
Dengan penilaian :
0 - 40 = jelek
50 – 70 = sedang
80 – 100 = baik
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gralla, et al (2005) yang mencoba membandingkan skala KPS dan skala ECOG (Eastern Cooperative Oncology Group), skala yang mana yang lebih baik dalam pembuatan keputusan klinis. Dari hasil penelitian mereka, kedua skala ini memiliki korelasi yang baik (pearson r=0,77). Keduanya juga memiliki sensitivitas yang tinggi (0,86 dan 0,96), namun KPS memiliki spesivitas yang lebih tinggi dari ECOG (KPS=0,88, ECOG=0,64). Atas pertimbangan tersebut KPS menjadi pilihan yang lebih baik dalam pembuatan keputusan klinis.
Menurut Mor, et al (1984), performance status memiliki korelasi yang kuat dengan Activity Daily Living (ADL) dan kualitas hidup pasien kanker. ADL yang dinilai adalah aktivitas berjalan, berpakaian, mandi dan berpakaian, naik tangga, pengawasan diri, berpindah, dan mobilitas diluar rumah. Penelitian mereka membuktikan bahwa semakin tinggi skor KPS maka kemampuan untuk melakukan ADL semakin meningkat. Sebaliknya, bila skor KPS berkurang maka kemampuan beraktivitas semakin menurun. Dimana semakin buruk pada skor KPS <30. Semakin berat gejala yang menyertai penyakit seperti nyeri, mual muntah, anemia, keletihan, dan kakeksia maka kualitas hidup pasien kankerpun semakin rendah. Bila skor KPS semakin rendah maka kualitas hidup pasien kankerpun semakin rendah.
Selain penelitian oleh Mor, pada penelitian empat tahun sebelumnya oleh Yates, et al (1980) dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat pula antara performance status dengan fungsi fisik pasien kanker.
Terdapat beberapa faktor risiko perubahan performance status yang biasanya ditemukan secara klinis yaitu :
a. Nutrisi
Perubahan dalam status nutrisi dan penurunan berat badan terjadi sekunder terhadap masukan protein dan kalori, efek lokal dari tumor, penyakit sistemik dan status emosional pasien. Gangguan nutrisi dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan penyakit, perlambatan perbaikan jaringan dan kehilangan kemampuan fungsi (Smeltzer & Bare, 2002). Semakin jelek status nutrisi maka performance status pasien kankerpun semakin jelek (Nair, et al, 2008).
b. Keletihan
Keletihan merupakan masalah multidimensional. Keletihan yang sering dialami oleh pasien kanker mengakibatkan penurunan kapasitas terhadap aktivitas ataupun penurunan stamina karena proses penyakit dan efek samping terapi menyebabkan penurunan performance status berupa penurunan motivasi dan ketergantungan dalam aktivitas fungsional dari pasien kanker (Dimeo, et al, 2004).
c. Anemia
Anemia disebabkan oleh depresi sum-sum tulang akibat kemoterapi dan radiasi serta dapat juga disebabkan oleh status nutrisi pasien yang jelek. Semakin rendah kadar hemoglobin maka performance status pasien kanker juga semakin jelek (Wedding, Rohrig & Pientka, 2007).
B. Landasan Teori
Karsinoma payudara merupakan salah satu tumor ganas yang paling sering ditemukan pada wanita. Modalitas terapi untuk penyakit kanker payudara terdiri atas pembedahan, radiasi, kemoterapi, dan terapi hormon. Pemilihan terapi selain ditentukan oleh ciri-ciri tumor juga ditentukan oleh performance status pasien. Bila performance status pasien memungkinkan, maka pasien bisa diterapi. Namun, terapi itu sendiri memberikan efek terhadap performance status pula karena selain merusak sel kanker, sel yang sehat juga ada yang rusak. Ditambah dengan peningkatan metabolisme yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi, maka bisa terjadi perubahan performance status pada pasien kanker.
Secara umum, impact dari kondisi sakit dapat berupa disfungsi fisik maupun respon psikologi bagi pasien kanker payudara. Disfungsi fisik dapat secara langsung menurunkan kemampuan beraktivitas yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan performance status pasien. Sedangkan respon psikologi akibat divonis menderita penyakit yang mengancam kehidupan merupakan stresor sangat poten bagi kondisi psikologis terutama bagi harga diri pasien kanker payudara.
Stresor terhadap harga diri bisa muncul akibat adanya efek samping dari terapi yaitu perubahan penampilan fisik dari pasien kanker. Pembedahan bisa menimbulkan pasien kehilangan anggota tubuh, radiasi bisa menimbulkan perubahan pada kulit, rambut (allopesia), serta kemoterapi bisa menimbulkan efek sistemik seperti penurunan berat badan, keletihan, allopesia. Kehilangan anggota tubuh yang merupakan identitas kelamin seperti payudara bagi seorang wanita, selain menjadi stresor identitas juga merupakan stresor gambaran diri. Begitu pula dengan perubahan penampilan fisik lainnya dapat menjadi stresor gambaran diri. Akibat dari kondisi sakit pasien bisa berada dalam situasi transisi peran dari yang biasa produktif dan mengemban peran tertentu menjadi tidak produktif dan terpaksa perannya digantikan oleh orang lain. Ini adalah stresor peran pada pasien kanker. Dimana ketiga stresor tersebut dapat menyebabkan perubahan harga diri pasien kanker payudara.
Manifestasi dari perubahan harga diri dapat berupa manifestasi perilaku dan afektif. Manifestasi perilaku dapat berupa defisit perawatan diri, perilaku menarik diri, perilaku destruktif terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain. Sedangkan manifestasi afektif berupa keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang motivasi diri, dan mengkritik diri. Perilaku yang menunjukkan defisit perawatan diri dan afek negatif seperti kurang motivasi untuk beraktivitas dapat mengakibatkan perubahan dari performance status pasien kanker. Jadi selain faktor-faktor fisik seperti status nutrisi, status anemia, dan keletihan yang berhubungan dengan performance status, harga diri sebagai faktor psikologis juga memiliki hubungan dengan performance status pasien kanker payudara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar