A. Pengertian Gizi Buruk
Gizi buruk atau kurang energi protein (KEP) berat adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam kehidupan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu dan disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 60% indeks berat badan menurut umur atau, <70% BB/TB baku median WHO NCHS, KEP merupakan defisiensi gizi (energi protein) sehingga tidak memenihi angka kebutuhan gizi/AKG (Supariasa, 2002).
Arisman, (2004) mengelompokkan gizi buruk atau kurang energi protein berat menjadi KEP primer dan sekunder, ketiadaan pangan melatar belakangi KEP primer yang mengakibatkan berkurangnya asupan, selain ketiadaan pangan maka penyakit pun memberi kontribusi yang dapat menyebabkan pengurangan asupan, gangguan serapan dan utilisasi pangan serta peningkatan kebutuhan dan atau kehilangan akan zat gizi dikategorikan sebagai KEP sekunder.
Menurut Depkes RI, 2000, klasifikasi kurang energi protein dibagi 3 yaitu: (1) KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80% baku median WHO- NCHS dan atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-90% baku median WHO –NCHS. (2) KEP sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan atau BB/TB 70-80% baku median WHO-NCHS (3) KEP berat /Gizi buruk bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan atau BB/TB <70% baku median WHO-NCHS.
Depkes RI, 2006 menetap kan secara klinis ada tiga tipe gizi buruk yaitu: kwashiorkor, marasmus, dan marasmik kwashiorkor. Tanpa melihat berat badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain maka ini disebut KEP berat /gizi buruk tipe kwashiorkor.
Kurang energi protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori protein atau keduanya tidak tercukupi oleh diet, kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu dominan ketimbang yang lain, sindrom kwashiorkor terjelma manakala defisiensi lebih menampakkan dominasi protein dan marasmus termanifestasi jika terjadi kekurangan energi yang parah kombinasi kedua bentuk ini yaitu marasmik kwashiorkor juga tidak sedikit, meskipun sulit menentukan kekurangan apa yang lebih dominan (Arisman, 2004)
B. Tanda-tanda Klinis KEP
Tanda dan gejala fisik yang ditemukan pada anak dengan gizi buruk menurut Supariasa, 2002 adalah:
1. Rambut kehilangan sinarnya yang berkilat , kering , tipis, tanda bendera (signoda bendera), mudah lepas.
2. Pada wajah terdapat depigmentasi, flek hitam dibawah mata, membengkak, pembesaran kelenjar parotis, nasolabial seboroik.
3. Konjungtiva pucat, injection konjungtiva, bercak bitot, palpebritis angularis, konjungtiva kering, kornea kering, keratomalasia.
4. Pada bibir terdapat cheilosis, fisura angularis, terdapat jaringan parut pada sekitar sudut bibir.
5. Lidah membengkak, scariet, kasar, terdapat bintik kemerahan, papila atrofi, hipertropi hiperemik.
6. Pada gigi ada yang tanggal, erupsi dan tidak normal, tanda-tanda fluorosis dan berlubang, pada gusi mudah berdarah dan terjadi penarikan pada gusi.
7. Terjadi pembesaran kelenjar gondok, kelenjar parotis kering, keratosis folikularis, gambaran dermatosis pelagra, petechiae, jaringan lemak bawah kulit berkurang / hilang.
8. Pada kuku terdapat kollanika, rapuh.
9. Otot dan rangka wasted, kraniotabes, pembesaran epipise, fontanel tetap membuka, blew-legs, pendarahan muskuloskeletal, tak bisa berjalan dengan baik.
10. Pada sistem kardiovaskuler terdapat : takikardi, pembesaran jantung, ritme tak normal, kenaikan tekanan darah.
11. Pada sistem gastrointestinal terdapat hepatomegali, splenomegali.
12. Pada sistem saraf terjadi paresesia, pada keadaan berat tidak bisa berjalan, refleks lutut dan tumit menurun/hilang.
C. Marasmus
Marasmus adalah suatu keadaan kekurangan protein dan kilokalori kronis, karakteristik dari marasmus adalah berat badan sangat rendah. Marasmus biasanya terjadi pada bayi umur 6-18 bulan dan biasanya ada penyakit penyerta antara lain TBC, gastroentritis, disentri, diare infeksiosa, atau terjangkit parasit, bersamaan dengan tidak ada pemeliharaan kesehatan (FKM UI, 2008).
Tanda dan gejala : a) anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit; b) wajah seperti orang tua; c) cengeng dan rewel; d) kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit, bahkan sampai tidak ada, perut cekung, iga gambang e) sering disertai dengan diare kronik atau konstipasi/susah buang air, serta penyakit kronik; f) tekanan darah serta detak jantung dan pernafasan berkurang.
D. Kwashiorkor
Kwashiorkor atau kekurangan protein adalah istilah pertama dari afrika, artinya sindroma perkembangan anak dimana anak tersebut disapih dan tidak mendapatkan ASI sesudah satu tahun karena menanti kelahiran bayi berikutnya. Makanan pengganti Asi sebagian besar terdiri dari pati atau air gula, tetapi kurang protein baik kualitas maupun kuantitasnya.
Tanda dan gejala : a) oedem umumnya diseluruh tubuh dan terutama pada kaki (dorsum pedis); b) wajah membulat dan sembab; c) otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk,anak hanya berbaring terus menerus; d) perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis; e) anak sering menolak segala jenis makanan, anoreksia; f) pembesaran hati; g) sering disertai infeksi, anemia, dan diare/mencret; h) rambut berwarna kusam dan mudah dicabut; i) gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam terkelupas (crasy pavement dermatosis); j) Pandangan mata anak sayu.
E. Marasmik-Kwashiorkor
Bentuk kelainan ini merupakan gabungan antara KKP yang disertai oleh edema, dengan tanda dan gejala khas kwashiorkor dan marasmus. Gambaran yang utama ialah kwashiorkor edema dengan atau tanpa lesi kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak bawah kulit seperti pada marasmus. Jika edema dapat hilang pada awal pengobatan, penampakan penderita akan menyerupai marasmus dan kwashiorkor yang muncul bersamaan dan didominasi oleh kekurangan protein yang parah.
F. Status Gizi dan Pengukurannya
Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat yang didasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan (Depkes RI, 2000 ).
Penentuan klasifikasi status gizi perlu digunakan baku standar atau sering disebut reference, baku standar ini antara tiap negara berbeda hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris, dan keadaan klinis (Supariasa,2002), untuk Indonesia penentuannya berdasarkan baku antropometri WHO NCHS dengan klasifikasi status gizi yaitu: gizi lebih, gizi baik, gizi sedang, gizi kurang, dan gizi buruk. Baku rujukan ini menggunakan indeks berat badan menurut umur anak laki-laki dan perempuan umur 0 sampai dengan 59 bulan (Depkes RI 2008).
Antropometri sebagai indikator status gizi dan dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter yaitu : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit. Parameter pengukuran berat badan dan tinggi badan merupakan parameter yang paling tepat dan baik karena mudah terlihat dalam waktu singkat dan dapat memberikan gambaran yang baik tentang pertumbuhan, parameter tinggi badan dan berat badan merupakan pengukuran yang secara umum dan luas digunakan diindonesia sehingga tidak perlu dilakukan penjelasan secara meluas lagi hal ini juga karena alat ukur dapat diperoleh dengan mudah didaerah pedesaan dan sudah sangat dikenal oleh masyarakat.
Menurut Supariasa 2002, cara menimbang dan mengukur berat badan dengan menggunakan 9 langkah penimbangan yaitu:
1. Langkah 1
Menggantungkan dacin di pohon, penyangga rumah atau penyangga kaki tiga.
2. Langkah 2
Periksalah apakah dacin sudah tergantung kuat, tarik batang dacin kebawah kuat-kuat.
3. Langkah 3
Sebelum dipakai letakkan bandul geser pada angka 0(nol) kemudian batang dacin dikaitkan dengan tali pengaman.
4. Langkah 4
Pasanglah celana timbang, kotak timbang atau atau sarung timbang yang kosong pada dacin, dan bandul geser pada angka 0(nol).
5. Langkah 5
Seimbangkan dacin yang sudah dibebani celana timbang, sarung timbang atau kotak timbangan dengan cara memasukkan pasir kedalam kantong plastik.
6. Langkah 6
Anak ditimbang, dan seimbangkan dacin
7. Langkah 7
Tentukan berat badan anak, dengan membaca angka diujung bandul geser.
8. Langkah 8
Catat hasil penimbangan diatas dengan secarik kertas.
9. Langkah 9
Geserlah bandul keangka 0(nol), letakkan batang dacin dalam tali pengaman, setelah itu bayi atau anak dapat diturunkan.
Menurut Supariasa (2002), cara mengukur tinggi badan pada anak yang sudah dapat berdiri dengan menggunakan mikrotoa yaitu :
1. Dengan menempelkan paku mikrotoa pada dinding yang lurus dan datar setinggi 2 meter dan angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata.
2. Lepaskan sepatu atau sandal.
3. Anak harus berdiri tegak seperti sikap siap sempurna dalam baris berbaris, kaki lurus, tumit, pantat, punggung, dan kepala bagian belakang harus menempel pada dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan kedepan.
4. Turunkan mikrotoa sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus menempel pada dinding.
5. Baca angka pada skala yang nampak pada lubang dalam gulungan mikrotoa, angka tersebut menunjukkan tinggi anak yang di ukur.
Untuk bayi atau anak yang belum dapat berdiri, digunakan alat pengukur bayi ,cara mengukur nya:
1) Alat pengukur diletakkan di atas meja atau tempat yang datar.
2) Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur, kepala diletakkan hati-hati sampai menyinggung bagian atas alat pengukur.
3) Bagian alat pengukur sebelah bawah kaki digeser sehingga tepat menyinggung telapak kaki bayi, dan skala pada sisi alat pengukur dapat dibaca
G. Faktor-Faktor yang menyebabkan KEP
1. Berdasarkan UNICEF
Menurut UNICEF salah satu badan organisasi PBB dalam (Siswono, 2009), yang khusus bergerak dibidang kesejahteraan anak telah mengembangkan kerangka konsep perbaikan gizi, dalam kerangka tersebut ditunjukkan bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh:
a. Penyebab langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
b. Penyebab tidak langsung
Ada tiga penyebab tidak langsung yang mempengaruhi terjadinya gizi kurang yaitu: 1) ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai dimana setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik maupun mutu gizinya. 2) pola pengasuhan anak kurang memadai, dimana setiap keluarga dan masyarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik, baik fisik mental dan sosial. 3) pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai, dimana sistim pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor tersebut sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluaraga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.
c. Pokok masalah dimasyarakat
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat berkaitan dengan faktor langsung maupun tidak langsung.
d. Akar masalah
Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi, politik dan keresahan sosial yang menimpa indonesia sejak tahun 1997. Keadaan tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai.
2. Faktor pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan tentang gizi yang baik, apabila masyarakat itu telah memberikan aturan makan kepada balita sesuai dengan aturan pemberian makanan dari bulan pertama sampai bulan keenam dan pemberian makanan tambahan setelah bulan keenam, sebaliknya masyarakat yang pengetahuan tentang gizi rendah dapat mengakibatkan penduduknya menderita penyakit akibat kekurangan gizi atau malnutrisi (Meiyanti, 2006).
Penyakit gizi buruk yang dialami oleh anggota suatu masyarakat disebabkan karena masyarakat tersebut tidak mengetahui hubungan yang pasti antara makanan dan kesehatan, susunan makanan yang cukup cenderung ditafsirkan dalam rangka kuantitas, bukan kualitasnya mengenai makanan pokok yang cukup bukan pula dari keseimbangannya dalam hal berbagai makanan. Karena itu gizi buruk bisa terjadi ditempat- tempat yang sebenarnya sumber makanan cukup (Meiyanti, 2006).
3. Faktor sikap
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak dan perasaan tidak mendukung arau tidak memihak pada objek tersebut (Azwar, 2007).
Menurut Suhardjo (2003), sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak. Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau sebaliknya tidak menyenangkan, sehingga tiap individu dapat mempunyai sikap suka dan tidak suka terhadap makanan.
Para ibu menyatakan sikapnya terhadap anaknya melalui pemberian makanan, kebiasaan makan yang jelek biasanya karena ingatan Ibu tentang pengalaman tentang masa tertentu dimana kesulitan pangan (Suhardjo, 2003).
4. Faktor Perilaku
Perilaku manusia juga mempengaruhi kejadian gizi buruk, menurut Suhardjo (2003), sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak. Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenangkan atau sebaliknya tidak menyenangkan, sehingga tiap individu dapat mempunyai sikap suka dan tidak suka terhadap makanan.
Banyak kepercayaan lain yang ada di masyarakat yaitu bila anak anak sedang diare atau demam makanannya dikurangi secara drastis cara ini dapat menimbulkan akibat yang fatal yaitu terjadinya gizi buruk. Sikap dan perilaku yang disarankan pada individu dan masyarakat untuk meningkatkan dan mencegah kejadian gizi buruk adalah : (1) terciptanya sikap positif terhadap gizi, (2) terbentuknya pengetahuan dan kecakapan memilih dan menggunakan sumber-sumber pangan, (3) timbulnya kebiasaan makan yang baik, (4) adanya motivasi untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal-hal yang bertalian dengan gizi misalnya semua bayi mendapatkan ASI sampai umur 2 tahun dan mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan kebutuhannya.
5. Faktor Perilaku
Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya antara lain sikap terhadap makanan, penyebab penyakit, kelahiran anak, dan produksi pangan. Dalam hal sikap terhadap makanan, masih banyak terdapat pantangan, tahayul, tabu dalam masyarakat yang menyebabkan konsumsi makanan menjadi rendah . jarak kelahiran yang terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga. Konsumsi zat gizi keluarga yang rendah juga dipengaruhi oleh produksi pangan. Rendahnya produksi pangan disebabkan karena para petani masih menggunakan teknologi yang bersifat tradisional (Supariasa, 2002).
Selanjutnya menurut Suhardjo (2003), budaya sangat berpengaruh terhadap pola makan dan pembagian makan dalam keluarga dimana kebiasaan kepala keluarga dan anak pria didahulukan dalam pembagian makanan sedangkan wanita dan anak-anak dikesampingkan, sehingga pembagian pangan yang tidak merata ini pun menjadi penyebab gizi buruk pada balita.
Merujuk pada hasil penelitian Meiyanti (2006), bahwa faktor budaya sangat berkaitan dengan pengetahuan tentang gizi dan kepercayaan dan kebiasaan dalam kaitannya dengan makanan, karena apa saja jenis bahan makanan yang dikonsumsi oleh kelompok orang atau masyarakat akan menentukan kondisi gizi dari orang tersebut.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Banyak faktor sosial ekonomi yang sukar untuk dinilai secara kuantitatif, khususnya pendapatan dan kepemilikan (barang berharga, tanah, ternak). Data sosial yang perlu dipertimbangkan adalah: a) keadaan penduduk disuatu masyarakat (jumlah, umur, distribusi seks, dan geografis); b) keadaan keluarga (besarnya, hubungan, jarak kelahiran); c) tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi karena dengan meningkatnya pendidikan kemungkinan akan meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatkan daya beli makanan.
7. Faktor Produksi pangan
Data yang relevan untuk produksi pangan adalah:1) penyediaan makanan keluarga yaitu produksi sendiri, membeli, barter; 2) dalam pertanian harus tersedianya alat pertanian, irigasi, pembuangan air, pupuk, pengontrolan serangga, dan penyuluhan pertanian; 3) kepemilikan tanah dan kecocokan tanah yang ditanami.
8. Faktor Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan
Pelayanan kesehatan dan pendidikan tidak merupakan faktor ekologi, tapi informasi ini sangat berguna untuk meningkatkan pelayanan. Beberapa data penting tentang pelayanan kesehatan/pendidikan adalah: 1) Rumah sakit atau pusat-pusat pelayanan kesehatan (puskesmas), jumlah rumah sakit, jumlah tempat tidur, staf dan lain-lain; 2) fasilitas pendidikan yang meliputi anak sekolah, remaja yang meliputi organisasi karang taruna, media masa meliputi televisi, dan lain-lain.
9. Faktor Keadaan Infeksi
Supriasa (2002), menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara infeksi baik bakteri, virus dan parasit dengan malnutrisi. Interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi.
Mekanisme patologisnya dapat bermacam- macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan yaitu: 1) penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorpsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit; 2) peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare, mual/muntah dan perdarahan yang terus menerus; 3) meningkatnya kebutuhan baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit dan parasit yang terdapat dalam tubuh; 4) pengukuran konsumsi makanan sangat penting untuk mengetahui kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat dan hal ini dapat berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan faktor diet yang dapat menyebabkan malnutrisi.
10. Faktor Budaya
Budaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku dan kebiasaan makan dalam suatu masyarakat dimana pandangan dan ide dalam kebudayaan tentang makanan dan pantangan-pantangan terhadap suatu jenis makanan mengakibatkan pola asupan gizi yang sangat rendah dan dapat mengakibatkan defisiensi energi protein yang berat. (Suhardjo, 2003).
Faktor budaya yang ada di Kabupaten Rote Ndao yang sangat mempengaruhi kesehatan Ibu dan bayinya yaitu ritual “ panggang badan” di mana dalam ritual ini mewajibkan setiap Ibu yang baru melahirkan dipisah kan dalam rumah adat “lopo” dan berbaring selama 40 hari dekat bara api yang disiapkan, panggang badan dilakukan pagi dan sore hari sambil meminum ramuan tradisioana, selama 40 hari Ibu tidak boleh menyantap beberapa sayuran tertentu dan cara ini dianggap dapat memulihkan badan dan membersihkan badan dari darah kotor (Buntoro, 2006).
Konsumsi protein yang kurang menyebabkan Ibu mengalami anemia dan kekurangan kalsium, magnesium, seng, vitamin B6 dan folat dengan demikian maka Ibu akan mengalami penghambatan dalam transformasi menjadi protein susu dan juga terhambatnya sintesis hormon prolaktin yang mengeluarkan ASI (Arisman, 2007).
Produksi ASI yang kurang maka kebutuhan ASI untuk bayi tidak terpenuhi sehingga mengakibat kan bayi mengalami gangguan gizi dan juga bayi akan mudah terserang penyakit infeksi seperti campak, batuk rejan atau menderita diare sehingga akan memburuknya gizi bayi (Moehji, 2003).
H. Kebutuhan Gizi Balita
Tumbuh kembang tubuh anak tidaklah dimulai setelah anak lahir, akan tetapi sudah dimulai sejak anak dalam kandungan ibunya. Gangguan pertumbuhan yang terjadi sewaktu anak masih didalam kandungan akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir, karena bayi yang lahir dengan BBLR akan berdampak : rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi, tumbuh kembang tubuh lebih lamban. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2,0 kg, harapan untuk dapat hidup sampai usia 12 bulan hanya 46%. Karena itu pemeliharaan gizi dan pengaturan makanan ibu selama hamil merupakan periode awal pemeliharaan gizi anak (Moehji, 2003).
Berdasarkan berat badan menurut Depkes bayi yang lahir dengan gizi baik akan mempunyai berat badan antara 3kg sampai 3,4kg. Bayi yang lahir belum cukup umur atau bayi yang menderita gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi akan mempunyai berat badan sewaktu lahir kurang dari 2,0 kg. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang akibat gangguan gizi akan menderita gangguan pertumbuhan yang menetap (permanent defects).
Pengaturan makan dari sudut kesehatan dan gizi sangat penting sebagai upaya dalam meningkatkan gizi balita pemberian makan tersebut mencakup: pemberian ASI secara tepat dan benar, pemberian makanan pendamping ASI yang tepat waktu dan tepat mutu. (Sri Meiyenti, 2006). Dalam pengaturan makanan yang tepat dan benar untuk anak dibawah usia lima tahun mencakup dua aspek pokok yaitu : pemanfaatan ASI secara tepat dan benar, pemberian makanan pendamping ASI serta makanan setelah usia setahun.
Dari sudut pemeliharaan gizi dan dan pengaturan makanan bayi dan anak usia dibawah 5 tahun dibagi dalam beberapa tahapan yaitu:
1. Tahapan semasa air susu ibu (usia sejak lahir sampai usia empat bulan).
Dalam tahap usia sejak lahir sampai 4bulan, air susu ibu merupakan makanan paling utama. ASI yang keluar pada hari pertama setelah bayi lahir terdiri dari cairan berwarna kekuningan dan disebut colostrum karena banyak mengandung zat-zat penolak infeksi dan sangat baik untuk bayi.
Pada usia sejak lahir sampai dengan 4 bulan ini bayi keburtuhan bayi akan zat-zat gizi untuk pertumbuhan hanya ada pada ASI saja
2. Tahapan dimana anak sudah perlu makanan pendamping selain air susu Ibu tahapan ini dimulai sewaktu anak memasuki usia bulan kelima sampai usia delapan bulan (5-8).
Memasuki bulan kelima ini kejadian gizi buruk sudah dapat ditemukan pada usia ini sehingga pada periode ini sering disebut sebagai periode transisi pertama yaitu periode dimulainya pemberian makanan tambahan sebagai pendamping ASI karena pada periode ini produksi ASI cenderung menurun (Moehji, 2003).
Makanan tambahan yang dianjurkan oleh Depkes dan dapat dibuat oleh sebagian besar keluarga yaitu bubur campur karena selain pembuatan yang cukup praktis juga bahan- bahan yang akan digunakan dapat diambil dari bahan yang akan dimasak.
3. Tahapan anak mulai dapat menerima makanan biasa dengan ASI sebagai penambah, tahapan ini dimulai anak memasuki usia 9 bulan sampai usia 2 tahun pada tahapan ini merupakan usia kritis dalam kehidupan anak karena kejadian gizi buruk paling banyak ditemukan dalam usia ini.
Pada usia ini anak harus sudah diperkenalkan dengan makanan biasa yang lazim dimakan oleh keluarga dan harus memenuhi kebutuhan kalori nya dan guna menjamin kebutuhan anak akan protein yang bermutu tinggi sehingga anak terhindar dari bahaya kwashiokor, Sjahmien Moehji, 2003 menganjurkan penggunaan tiga sumber protein secara maksimal yaitu:
a. Anak diberi ASI selama mungkin sepanjang ASI masih keluar.
b. Anak diberikan campuran protein nabati dari biji-bijian (serealia) dan kacang- kacangan (leguminosa).
c. Berikan bahan makanan sumber protein hewani setempat yang mudah didapat dan murah harganya.
Cara ini dikenal dengan nama “ tiga lapisan jembatan protein” yang berfungsi sebagai jembatan dalam peralihan makan anak dari ASI kemakanan biasa.
4. Tahap usia antara 3 tahun sampai 5 tahun, pada tahapan ini tetap sama dalam kebutuhan makanan nya hanya protein dan kalori yang cukup serta vitamin A harus selalu terpenuhi dan bahan- bahan makanan seperti tempe, tahu dan sayuran sehingga dengan susunan makanan campuran ini anak anak bisa mempertahankan gizinya.
I. Kebutuhan Zat Gizi Anak Gizi Buruk Dan Pemberian Makanan Tambahan Menurut Fase Pemberian Makanan
Dalam penatalaksanaan anak gizi buruk menurut Depkes (2006), ada 3 fase yaitu :
1. Fase stabilisasi yaitu pada hari ke 1 dan 2 maka energi yang diberikan adalah 80-100 kkal/kgBB/hr, protein 1-1,5gram/kgBB/hari, cairan diberikan 130ml/kgBB/hari atau 100ml/kgBB/hari bila ada edema berat. Makanan tambahan yang diberikan adalah F-75 atau modisco ½ dengan frekuensi pemberian 8-12 kali, dan ASI tetap harus diberikan sesering mungkin.
2. Fase transisi (hari ke 3-7) energi yang diberikan 100-150 kkal/kgBB/hr, protein yang diberikan 2-3 gram/kgBB/hari, cairan yang diberikan 150ml/kgBB/hari. Makanan tambahan yang diberikan adalah F-100 atau modisco 1 dan modisco 2 dengan frekuensi pemberian 6 kali dan ASI tetap harus diberikan sesering mungkin.
3. Fase rehabilitasi (minggu ke 2-6) energi yang diberikan adalah 150-220 kkal/kgBB/hari, protein yang diberikan 3-4 gram/kgBB/hari, cairan yang diberikan 150-200ml/kgBB/hari, Fe (tablet besi/folat), sirup besi (Fe SO4 150ml) 1-3mg elemental, ini diberikan tiap hari selama 4 minggu untuk anak umur 6 bulan sampai 5 tahun, vitamin A diberikan untuk umur < 6bulan dosisnya 100.000SI (1/2 kapsulbiru), umur 6-11 bulan dosisnya 100.000SI (1 kapsul biru), 1-5 tahun dosisnya 200.000 SI (1kapsul merah), vitamin C dan vitamin B kompleks diberikan 5mg/hari pada hari pertama, selanjutnya 1mg/hari, makanan pada fase ini harus hipoosmolar, rendah laktosa dan rendah serat, ASI diteruskan sampai 2 tahun selanjutnya makanan padat diberikan berdasarkan berat badan yaitu: bila BB < 7kg diberi makanan bayi dan bila BB ≥ 7kg diberi makanan usia anak
J. Penatalaksanaan Balita Gizi Buruk
Pada penderita gizi buruk tanpa penyulit dianjurkan untuk dirawat dirumah hal ini untuk mencegah terjadi risiko silang apabila dirawat di rumah sakit dan juga suasana rumah sakit yang berlainan dengan keadaan rumah menyebabkan anak merasa diasingkan kondisi ini akan membuat suasana apatis bertambah dan sekaligus memperburuk anoreksia yang telah ada sehingga dapat mengancam jiwa (Arisman, 2004).
Penanganan gizi buruk ada 2 yaitu pengobatan awal dan rehabilitasi , pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa,sementara fase rehabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan gizi, ini di mulai sejak pasien tiba di rumah sakit hingga kondisi anak stabil dan nafsu makan pulih , fase ini berlangsung selama 2-7 hari. Jika lebih dari 10 hari keadaan pasien tidak juga pulih berarti diperlukan upaya tambahan.
Menurut penatalaksanaan gizi buruk Depkes RI (2006), yaitu dengan klasifikasi tanda bahaya:
a. Hipoglikemia
Merupakan suatu keadaan dimana kadar glukosa darah sangat rendah, pada anak gizi buruk dianggap hipoglikemia bila kadar glukosa darah < 3mmol/liter atau <54 mg/dl. Tanda-tandanya adalah letargis, nadi lemah, dan kehilangan kesadaran. Gejalanya berupa berkeringat dan pucat.
Penatalaksanaannya adalah: 1) untuk anak gizi buruk yang sadar/tidak letargis, berikan larutan glukosa10% atau larutan gula pasir 10% secara oral atau NGT dan bolus sebanyak 50ml; 2) Untuk anak gizi buruk yang tidak sadar/ letargis, berikan larutan glukosa 10% secara intra vena (iv) sebnyak 5ml x kgBB.
Selanjutnya berikan larutan glukosa10% atau larutan gula pasir secara oral atau NGT sebanyak 50ml, renjatan syok, berikan cairan intra vena berupa ringer laktat dan dextrosa/glukosa 10% dengan perbandingan 1:1 (Rl : D5%) sebanyak 15 x kgBB selama 1jam pertama atau 5 tetes/menit/kgBB, selanjutnya berikan larutan glukosa 10% secara intravena sebanyak 5ml x kgBB.
d. Hipotermi
Adalah suatu keadaan tubuh dimana suhu aksiler < 36,5°C, keadaan ini biasanya merupakan tanda dari infeksi sistemik yang serius.
Penatalaksanannya adalah:
1. Bila suhu < 36,5°C harus dilakukan tindakan menghangati untuk mengembalikan suhu tubuh anak dengan cara tutup tubuh anak termasuk kepalanya dan hindari adanya hembusan angin didalam ruangan perawatan
2. Pemanasan tubuh anak dengan “kangguru” yaitu dengan mengadakan kontak langsung ibu dan anak untuk memindahkan panas tubuh ibu kepada tubuh anak .
3. Pemanasan tubuh anak juga dapt dilakukan dengan menggunakan lampu, lampu harus diletakkan 50cm dari tubuh anak.
4. Suhu tubuh harus dimonitor setiap 30menit untuk memastikan bahwa suhu tubuh anak tidak terlalu tinggi akibat pemanasan.
5. Hentikan pemanasan bila suhu tubuh sudah mencapai 37°C.
e. Dehidrasi dan Renjatan
Merupakan keadaan berbahaya yang ditandai dengan tubuh yang sangat lemah, letargis, kehilangan kesadaran, kaki dan tangan dingin serta nadi yang cepat dan lemah. Penyebab dari renjatan yang paling sering adalah diare yang disertai dengan dehidrasi, perdarahan, dan sepsis.
Penatalaksanaannya adalah:
1. Beri oksigen 1-3liter/menit.
2. Berikan cairan RLG 5% iv kemudian beri glukosa 10% iv, jumlah cairan yang diberikan perjam adalah 15ml x BB anak = ml.
Kemudian dimonitor setiap 30 menit, jika denyut nadi dan frekuensi menurun setelah 1jam , ulangi jumlah pemberian cairan iv untuk jam yang ke2.
3. Berikan ReSoMal berselang seling dengan F75 selama 10 jam dan catat pemberian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar