Desember 12, 2010

KONSEP DASAR HEMODIALISA dan CKD/CRF

A. KONSEP DASAR HEMODIALISA

1. Definisi
Dialisis merupakan
• Suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
• Suatu proses pembuatan zat terlarut dan cairan dari darah melewati membrane semi permeable. Ini berdasarkan pada prinsip difusi; osmosis dan ultra filtrasi.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD; end-stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanent. Sehelai membrane sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu.
Bagi penderita GGK, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien-pasien ini harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya (biasanya 3 kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi) atau sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan terapi dialysis yang kronis kalau terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia.
2. Tujuan
Mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal dialysis. Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanent atau menyebabkan kematian. Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan. Peritoneal dialysis mengeluarkan cairan lebih lambat daripada bentuk-bentuk dialysis yang lain.
3. Indikasi
Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi :
1. Hiperkalemia ( K > 6 mEq/l)
2. Asidosis
3. kegagalan terapi konservatif
4. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah
5. Kelebihan cairan.
6. Perikarditis dan konfusi yang berat.
7. Hiperkalsemia dan hipertensi.
4. Prinsip Hemodialisa
Prinsip mayor/proses hemodialisa
a. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
1) Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.
2) Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative “menarik” cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.
5. Perangkat Hemodialisa
a. Perangkat khusus
1) Mesin hemodialisa
2) Ginjal buatan (dializer) yaitu : alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme atau zat toksin laindari dalam tubuh. Didalamnya terdapat 2 ruangan atau kompartemen :
- kompartemen darah
- kompartemen dialisat.

Darah kembali kebadan

darah dari fistula ginjal buatan

heparin kompartemen darah




Kompartemen dialisat

Pembuangan dialisat dialirkan pompa

3) Blood lines : selang yang mengalirkan darah dari tubuh ke dializer dan kembali ke tubuh. Mempunyai 2 fungsi :
 Untuk mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa metablolisme.
 Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialysis.

2. Alat-alat kesehatan :
 Tempat tidur fungsional
 Timbangan BB
 Pengukur TB
 Stetoskop
 Termometer
 Peralatan EKG
 Set O2 lengkap
 Suction set
 Meja tindakan.
3. Obat-obatan dan cairan :
- Obat-obatan hemodialisa : heparin, frotamin, lidocain untuk anestesi.
- Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
- Dialisat
- Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
- Obat-obatan emergency.
6. Pedoman pelaksanaan hemodialisa
a. Perawatan sebelum hemodialisa
1) Sambungkan selang air dari mesin hemodialisa.
2) Kran air dibuka.
3) Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk keluar atau saluran pembuangan.
4) Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak.
5) Hidupkan mesin.
6) Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit.
7) Matikan mesin hemodialisis.
8) Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.
9) Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis.
10) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap).
b. Menyiapkan sirkulasi darah.
1) Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.
2) Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi ‘inset’ (tanda merah) diatas dan posisi ‘outset’ (tanda biru) dibawah.
3) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung ‘inset’ dari dialiser.
4) Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung ‘outset’ adri dialiser dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.
5) Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.
6) Hubungkan set infuse ke slang arteri.
7) Bukalah klem NaCl 0,9%. Isi slang arteri sampai keujung selang lalu klem.
8) Memutarkan letak dialiser dengan posisi ‘inset’ dibawah dan ‘ouset’ diatas, tujuannya agar dialiser bebas dari udara.
9) Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
10) Buka klem dari infuse set ABL, UBL.
11) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/mnt, kemudian naikkan secara bertahap sampai 200 ml/mnt.
12) Isi buble tap dengan NaCl 0,9% sampai 3/4 cairan.
13) Memberikan tekanan secara intermitten pada UBL untuk mengalirkan udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan dialiser bebas udara (tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
14) Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol (kalf). Sisanya ditampung pada gelas ukur.
15) Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru.
16) Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.
17) Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru 15-20 menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.
18) Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana ‘inset’ diatas dan ‘outset’ dibawah.
19) Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
c. Persiapan pasien.
1) Menimbang BB
2) Mengatur posisi pasien.
3) Observasi KU
4) Observasi TTV
5) Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti dibawah ini:
o Dengan interval A-V Shunt/fistula simino
o Dengan eksternal A-V Shunt/schungula.
o Tanpa 1-2 (vena pulmonalis).
7. Komplikasi yang terjadi
a. Hipotensi
Penyebab : terlalu banyak darah dalam sirkulasi mesin, ultrafiltrasi berlebihan, obat-obatan anti hipertensi.
b. Mual dan muntah
Penyebab : gangguan GI, ketakutan, reaksi obat, hipotensi.
c. Sakit kepala
Penyebab : tekanan darah tinggi, ketakutan.
d. Demam disertai menggigil.
Penyebab : reaksi fibrogen, reaksi transfuse, kontaminasi bakteri pada sirkulasi darah.
e. Nyeri dada.
Penyebab : minum obat jantung tidak teratur, program HD yang terlalu cepat.
f. Gatal-gatal
Penyebab : jadwal dialysis yang tidak teratur, sedang.sesudah transfuse kulit kering.
g. Perdarahan amino setelah dialysis.
Penyebab : tempat tusukan membesar, masa pembekuan darah lama, dosis heparin berlebihan, tekanan darah tinggi, penekanan, tekanan tidak tepat.
h. Kram otot
Penyebab : penarikan cairan dibawah BB standar. Penarikan cairan terlalu cepat (UFR meningkat) cairan dialisat dengan Na rendah BB naik > 1kg. Posisi tidur berubah terlalu cepat.
8. Diagnosa Keperawatan yang muncul
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelemahan proses pengaturan
b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang familier dengan sumber informasi.
c. Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan kurang kontrol, ketergantungan pada dialysis, sifat kronis penyakit
d. Risiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler dan komplikasi sekunder terhadap penusukan


B. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


1. Pengertian
Chronic Kidney Disease ( CKD ) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
2. Etiologi
Chronic Kidney Disease ( CKD ) terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.
a. Infeksi
Pielonefritis kronik.
b. Penyakit peradangan
Glomerulonefritis.
c. Penyakit vaskuler hipertensif
Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
d. Gangguan jaringan penyambung
SLE, poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e. Gangguan kongenital dan herediter
Penyakit ginjal polikistik,asidosis tubuler ginjal.
f. Penyakit metabolik
DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
g. Nefropati obstruktif
Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h. Nefropati obstruktif
1) Sal. Kemih bagian atas:
Kalkuli, neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
2) Sal. Kemih bagian bawah:
Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
3. Patofisiologi
Patofisiologi umum CKD
a. Sudut pandang tradisional
Semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar- banar rusak atau berubah struktur.
b. Hipotesis Bricker (hipotesis nefron yang utuh)
“Bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal”. Uremia akan timbul bila jumlah nefron sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit yang tidak dapat dipertahankan lagi.

Jumlah nefron turun secara progresif

Ginjal melakukan adaptasi (kompensasi)
-sisa nefron mengalami hipertropi
-peningkatan kecepatan filtrasi, beban solute dan reabsorbsi
tubulus dalam tiap nefron, meskipun GFR untuk seluruh massa nefron menurun di bawah normal

Kehilangan cairan dan elektrolit dpt dipertahankan

Jk 75% massa nefron hancur
Kecepatan filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron meningkat

Keseimbangan glomerulus dan tubulus tidak dapat dipertahankan

Fleksibilitas proses ekskresi & konversi solute &air ↓
Sedikit perubahan pada diit mengakibatkan keseimbangan terganggu

Hilangnya kemampuan memekatkan/mengencerkan kemih
BJ 1,010 atau 2,85 mOsml (= konsentrasi plasma)

poliuri, nokturia, nefron tidak dapat lagi mengkompensasi dgn tepat
terhadap kelebihan dan kekurangan Na atau air



Toksik Uremik
Gagal ginjal tahap akhir

↓GFR


Kreatinin ↑ Prod. Met. Prot. Tertimbun ↑ phosphate serum
Dalam darah ↓ kalsium serum

Sekresi parathormon

Tubuh tdk berespon dgn N

Kalsium di tulang ↓

Met.aktif vit D↓
Perub.pa tulang/osteodistrofi ginjal


4. Klasifikasi CKD (Chronic Kidney Disease)
Stage Gambaran kerusakan ginjal GFR (ml/min/1,73 m2)
1 Normal atau elevated GFR ≥ 90
2 Mild decrease in GFR 60-89
3 Moderate decrease in GFR 30-59
4 Severe decrease in GFR 15-29
5 Requires dialysis ≤ 15

5. Tanda Dan Gejala
1. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
a. Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
b. Defisiensi hormone eritropoetin
Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin →Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
2. Kelainan Saluran cerna
a. Mual, muntah, hicthcup
dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) → iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
b. Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.

c. Pankreatitis
Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
3. Kelainan mata
4. Kardiovaskuler :
o Hipertensi
o Pitting edema
o Edema periorbital
o Pembesaran vena leher
o Friction Rub Pericardial
5. Kelainan kulit
a. Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
a). Toksik uremia yang kurang terdialisis
b). Peningkatan kadar kalium phosphor
c). Alergi bahan-bahan dalam proses HD
b. Kering bersisik
Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit.
c. Kulit mudah memar
d. Kulit kering dan bersisik
e. rambut tipis dan kasar
5. Neuropsikiatri
6. Kelainan selaput serosa
7. Neurologi :
 Kelemahan dan keletihan
 Konfusi
 Disorientasi
 Kejang
 Kelemahan pada tungkai
 rasa panas pada telapak kaki
 Perubahan Perilaku
8. Kardiomegali.
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien menderita apa yang disebut SINDROM UREMIK

Terdapat dua kelompok gejala klinis :
 Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi ; kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal.
 Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya

MANISFESTASI SINDROM UREMIK
Sistem tubuh Manifestasi
Biokimia  Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L)
 Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN, kreatinin)
 Hiperkalemia
 Retensi atau pembuangan Natrium
 Hipermagnesia
 Hiperurisemia
Perkemihan& Kelamin  Poliuria, menuju oliguri lalu anuria
 Nokturia, pembalikan irama diurnal
 Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010
 Protein silinder
 Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas
Kardiovaskular  Hipertensi
 Retinopati dan enselopati hipertensif
 Beban sirkulasi berlebihan
 Edema
 Gagal jantung kongestif
 Perikarditis (friction rub)
 Disritmia
Pernafasan  Pernafasan Kusmaul, dispnea
 Edema paru
 Pneumonitis
Hematologik  Anemia menyebabkan kelelahan
 Hemolisis
 Kecenderungan perdarahan
 Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK, pneumonia,septikemia)
Kulit  Pucat, pigmentasi
 Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan dengan kehilangan protein)
 Pruritus
 “kristal” uremik
 kulit kering
 memar
Saluran cerna  Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB
 Nafas berbau amoniak
 Rasa kecap logam, mulut kering
 Stomatitis, parotitid
 Gastritis, enteritis
 Perdarahan saluran cerna
 Diare
Metabolisme intermedier  Protein-intoleransi, sintesisi abnormal
 Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun
 Lemak-peninggian kadar trigliserida
Neuromuskular  Mudah lelah
 Otot mengecil dan lemah
 Susunan saraf pusat :
 Penurunan ketajaman mental
 Konsentrasi buruk
 Apati
 Letargi/gelisah, insomnia
 Kekacauan mental
 Koma
 Otot berkedut, asteriksis, kejang
 Neuropati perifer :
 Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
 Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi
 Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut menjadi paraplegi
Gangguan kalsium dan rangka  Hiperfosfatemia, hipokalsemia
 Hiperparatiroidisme sekunder
 Osteodistropi ginjal
 Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
 Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru)
 Konjungtivitis (uremik mata merah)

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
- Ureum kreatinin.
- Asam urat serum.
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
- Analisis urin rutin
- Mikrobiologi urin
- Kimia darah
- Elektrolit
- Imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit
- Progresifitas penurunan fungsi ginjal
- Ureum kreatinin, klearens kreatinin test
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:
Laki-laki :

(140 – umur ) X BB (kg)
CCT =
72 x kreatinin serum ( mg/dL )

Wanita : 0,85 x CCT
Perhitungan terbaik LFG adalah dengan menentukan bersihan kreatinin yaitu :
Kreatinin urin (mg/dL)xVol.urin (mL/24 jam)
Bersihan kreatinin :
Kreatinin serum ( mg/dL ) x 1440 menit
Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau
0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau
0,85 - 1,23 mL/detik/m2

- Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
- Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
- Endokrin : PTH dan T3,T4
- Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk ginjal, misalnya: infark miokard.

2. Diagnostik
a. Etiologi CKD dan terminal
- Foto polos abdomen.
- USG.
- Nefrotogram.
- Pielografi retrograde.
- Pielografi antegrade.
- Mictuating Cysto Urography (MCU).
b. Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
- RetRogram
- USG.
7. Managemen Terapi
a. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease ( CKD ) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
1) Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
2) Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
3) Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
4) Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Alur manajemen terapi pada klien Cronic Kidney Desease (CKD) dan terminal sebagai berikut;

CKD
Terapi konservatif
Penyakit ginjal terminal

meninggal Dialisis HD di RS, Rumah, CAPD
gagal
Transplantasi ginjal berhasil

Prinsip terapi konservatif :
1) Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
a) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
b) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan hipotensi.
c) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
d) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
e) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
f) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
g) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis yang kuat.
2) Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
a) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
b) Kendalikan terapi ISK.
c) Diet protein yang proporsional.
d) Kendalikan hiperfosfatemia.
e) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
f) Terapi hIperfosfatemia.
g) Terapi keadaan asidosis metabolik.
h) Kendalikan keadaan hiperglikemia.
3) Terapi alleviative gejala asotemia
a) Pembatasan konsumsi protein hewani.
b) Terapi keluhan gatal-gatal.
c) Terapi keluhan gastrointestinal.
d) Terapi keluhan neuromuskuler.
e) Terapi keluhan tulang dan sendi.
f) Terapi anemia.
g) Terapi setiap infeksi.
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum K+ ( hiperkalemia ) :
a) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
b) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
2) Anemia
a) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin ( ESF : Eritroportic Stimulating Faktor ). Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian30-530 U per kg BB.
b) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
c) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif ,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :
 HCT < atau sama dengan 20 %
 Hb < atau sama dengan 7 mg5
 Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia dan high output heart failure.
Komplikasi tranfusi darah :
 Hemosiderosis
 Supresi sumsum tulang
 Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
 Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
 Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana transplantasi ginjal.
3) Kelainan Kulit
a) Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden meningkat pada klien yang mengalami HD.
Keluhan :
 Bersifat subyektif
 Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan lichen symply
Beberapa pilihan terapi :
 Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme
 Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
 Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg, terapi ini bisa diulang apabila diperlukan
 Pemberian obat
Diphenhidramine 25-50 P.O
Hidroxyzine 10 mg P.O
b) Easy Bruishing
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan denga retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi yang diperlukan adalah tindakan dialisis.
4) Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya :
a) HD reguler.
b) Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
c) Operasi sub total paratiroidektomi.
5) Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi :
1). Restriksi garam dapur.
2). Diuresis dan Ultrafiltrasi.
3). Obat-obat antihipertensi.
c. Terapi pengganti
Adalah terapi yang menggantikan fungsi ginjal yang telah mengalami kegagalan fungsi ginjal baik kronik maupun terminal. Pada masa sekarang ini ada dua jenis terapi :
1) Dialisis yang meliputi :
a) Hemodialisa
b) Peritoneal dialisis, yang terkenal dengan Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis ( CAPD ) atau Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan ( DPMB ).
2) Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
8. Komplikasi
a. Hipertensi.
b. Hiperkalemia.
c. Anemia.
d. Asidosis metabolik.
e. Osteodistropi ginjal.
f. Sepsis.
g. Neuropati perifer.
h. Hiperuremia.

DAFTAR PUSTAKA
Bongard, Frederic, S. Sue, darryl. Y, 1994, Current Critical, Care Diagnosis and Treatment, first Edition, Paramount Publishing Bussiness and Group, Los Angeles
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 2, EGC, Jakarta
Haryani dan Siswandi, 2004, Nursing Diagnosis: A Guide To Planning Care, available on: www.Us.Elsevierhealth.com
IIOWA Outcomes Project, 2000, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, Mosby Year Book, USA.
McCloskey, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, USA
Nanda, 2009, Nursing Diagnosis Deffinition and Classification, Mosby year Book. USA
Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M, 1996, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses penyakit, Edisi empat, EGC, Jakarta
Ralph & Rosenberg, 2003, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2005-2006, Philadelphia USA
Soeparman & Waspadji, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi 3, FKUI, Jakarta
Widmann, 1995, Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 9, EGC, Jakarta

Desember 08, 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TINDAKAN RADIKAL MASTOIDEKTOMI AKIBAT OTITIS MEDIA KRONIK

OPERASI RADIKAL MASTOIDEKTOMI

A. Konsep Dasar Otitis Media Kronik
1. Pengertian
Otitis media kronik adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan secret yang keluar dari telinga tengah secara terus –menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Syamsuhidajat,1997).
2. Penyebab
Penyebab terjadinya otitis media kronik adalah biasanya terjadi sebagai lanjutan otitis media akuta karena :
a. Otitis media akut yang tidak mendapat pengobatan pada stadium dini
b. Pengobatan otitis media akut yang tidak adekuat
c. Virulensi kuman yang tinggi
d. Daya tahan tubuh yang rendah
e. Adanya infeksi fokal di daerah hidung dan faring
Kuman penyebabnya adalah :
a. Streptococcus.
b. Stapilococcus.
c. Diplococcus pneumonie.
d. Hemopilus influens.
3. Jenis Otitis Media

Otitis Media
Otitis media supuratif Otitis media non Supuratif
(Otitis media serosa)
Otitis media akut (OMA) Otitis media serosa akut
(lebih 2 bulan)

Otitis media supuratip kronis Otitis media serosa kronis
(OMSK) (Glue ear)


a. Otitis Media Kronik Benigna
Otitis media kronik benigna dapat hilang timbul, di mana dalam perjalanan penyakitnya ada masa sembuh. Biasanya kambuh lagi bila ada infeksi hidung atau infeksi dari luar melalui perforasi pada membran timpani (misalnya sehabis berenang). Komplikasi yang serius jarang terjadi. Kecuali apabila tidak mendapat pengobatan yang adekuat, maka proses peradangan akan meuas dan keluhan akan bertambah
Pada anamnesis didapatkan :
1) keluhan penderita tidak berat
2) Tidak ada rasa nyeri di belakang telinga
3) Sekret yang keluar tidak banyak dan tidak berbau busuk
Pada pemeriksaan didapatkan :
1) Sekret tidak banyak dan tidak begitu berbau busuk
2) Gangguan pendengaran tidak berat
3) Perforasi membaran timpani sentral dan mukosa tidak menebal
Penatalaksanaan :
1) Konservatif
2) Operatif
Konservatif :
1) Pembersihan secret di liang telinga (toilet local, “drainage”) merupakan hal yang penting untuk pengobatan ottitis media kronik
Ada beberapa cara untuk membersihkan secret :
a. Dengan menggunakan kapas lidi. Tindakan ini dianjurkan sesering-seringnya dila ada otore. Dapat diajarkan kepada penderita atau orang tua penderita.
b. “Displacement methode” dapat dengan menggunakan larutan hydrogen peroksida (H2O2) 3%, karena adanya gas O2 yang ditimbulkan
c. Bila mungkin secret dihisap secara hati-hati dengan menggunakan jarum kecil plastik, misalnya jarum BWG no. 16 dan 18 yang ujungnya diberi kateter nelaton yang kecil atau karet pentil.
2) Pengobatan Lokal
Diberikan antibiotik tetes telinga. Pemberian antibiotik tetes telinga tidak ada gunanya bila masih ada otore yang produktif. Oleh karena itu pemberian antibiotik local dianjurkan setelah dilakukan toilet local. Harus diterangkan terlebih dahulu cara pemakaian H2O2 3% ke dalam telinga yang sakit kemudian bersihkan dengan kapas lidi baru, setelah itu masukkan antibiotik tetes telinga dengan cara kepala dimiringkan dan tragus ditekan tekan supaya obat tetes masuk ke dalam
3) Antibiotika yang adekuat oral atau parenteral. Ini diberikan apabila ada eksaserbasi akut yang didahului oleh infeksi hidung atau faring
Operatif :
Tindakan operatif dilakukan bila terdapat fokal infeksi yang mungkin dijumpai seperti tonsillitis kronik, sinusitis dan lain-lain
Jenis-jenis Tindakan Operatif
1) Miringoplasty atau Timpanopalsty
Operasi ini dianjurkan apabila
• Infeksi sudah tenang
• Tidak ada komplikasi
• Sekret tidak produktif lagi dalam waktu lama (1-3 bulan)
• Tidak terdapat tuli saraf yang berat
Miringoplasty adalah operasi semata-mata melakukan rekonstruksi membaran timpani yang telah dirusak
2) Timpanoplasty adalah operasi eksplorasi pada seluruh bagian telinga tengah, yaitu membran timpani, tulang-tulang pendengaran kavum mastoideum, tuba eustachii, dan kedua jendela labirin. Semua jaringan yang sakit dibuang, ditetapkan kembali fungsi yang terganggu dan dilakukan rekonstruksi pada bagia-bagian yang rusak
3) Mastoidektomi
b. Otitis Media Kronik Maligna
Otitis media kronik maligna timbul secara progresif dan berlangsung lebih cepat dimana dalam perjalanan penyakitnya tidak ada masa sembuh. Komplikasi yang serius sering terjadi apabila tidak mendapat pengobatan yang adekuat sehingga proses peradangan akan meuas dan keluhan akan bertambah

Ciri-ciri Khas Otitis Media Kronik Maligna :
1) Sifatnya yang progresif dan destruktif
2) Dalam perjalanan penyakitnya boleh dikatakan tidak ada masa sembuh walaupun tidak ada infeksi hidung atau faring
3) Biasanya disertai komplikasi yang ringan sampai berat seperti secret nanah, secret yang berbau busuk, labirintitis meningitis, kelumpuhan nervus fasialis, abses otak.
Dalam anamnesis keluhan penderita adalah:
1) Telinganya tidak pernah sembuh
2) Keluar nanah dari telinga terus-menerus dan berbau busuk
3) Pendengaran banyak berkurang
4) Pernah sakit di belakang telinga dan nyeri kepala yang berat
5) Pembengkakan di belakangtelinga
6) Mulut mencong dan sebagainya
Pada pemeriksaan didapatkan :
1) Sekret banyak dan berbau busuk
2) Ada kolesteatom, jaringan granulasi, polip, dan lain-lain
3) Perforasi “atic” atau marginal pada membaran timpani
4) Gangguan pendengaran derajat sedang sampai berat
5) Beberapa komplikasi seperti yang disebutkan di atas
Penatalaksanaan :
Umumnya dilakukan pembedahan yaitu mastoidektomi radikal. Bila ada komplikasi abses retroaurikuler dan penderita jauh dari rumah sakit, maka harus dilakukan insisi sementara untuk drainage.

c. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)
Infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Syamsuhidajat, 1997).

4. Patofisiologi
O M S K
Maligna Benigna
Degeneratif Metaplastik

1. Granulasi di liang telinga luar Tengah (di epitimpanum).
2. Terdapat perforasi pada marginal/atik. Terlihat kolesteatom pada telinga
3. Berasal dari dalam telinga tengah. Sekret berbentuk nanah dan
4. Polip Berbau khas (aroma kolesteatiom)

Otore = pus pada MAE
(kental/busuk)
Gangguan berkomunikasi Cemas
Pendengaran menurun

Perubahan persepsi / sensori

5. Pemeriksaan
a. Anamnesis
Keluhan utama dapat berupa :
1) Gangguan pendengaran/pekak.
Bila ada keluhan gangguan pendengaran, perlu ditanyakan :
a) Apakah keluhan tsb. pada satu telinga atau kedua telinga, timbul tiba-tiba atau bertambah secara bertahap dan sudah berapa lamanya.
b) Apakah ada riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma akustik atau pemekaian obat ototoksik sebelumnya.
c) Apakah sebelumnya pernah menderita penyakit infeksi virus seperti parotitis, influensa berat dan meningitis.
d) Apakah gangguan pendengaran ini diderita sejak bayi , atau pada tempat yang bising atau pada tenpat yang tenang.
2) Suara berdenging/berdengung (tinitus)
a) Keluhan telinga berbunyi dapat berupa suara berdengung atau berdenging yang dirasakan di kepala atau di telinga, pada satu sisi atau kedua telinga.
b) Apakah tinitus ini menyertai gangguan pendengaran.
3) Rasa pusing yang berputar (vertigo).
Dapat sebagai keluhan gangguan keseimbangan dan rasa ingin jatuh.
a) Apakah keluhan ini timbul pada posisi kepala tertentu dan berkurang bila pasien berbaring dan timbul lagi bila bangun dnegan gerakan cepat.
b) Apakah keluhan vertigo ini disertai mual, muntah, rasa penuh di telinga dan telinga berdenging yang mungkin kelainannya terdapat di labirin atau disertai keluhan neurologis seperti disentri, gangguan penglihatan yang mungkin letak kelainannya di sentral. Kadang-kadang keluhan vertigo akan timbul bila ada kekakuan pergerakan otot-oto leher. Penyakit DM, hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung, anemia, kanker, sifilis, dapat menimbulkan keluhan vertigo dan tinitus.
4) Rasa nyeri di dalam telinga (Otalgia)
a) Apakah pada telinga kiri/kanan dan sudah berapa lama.
b) Nyeri alihan ke telinga dapat berasal dari rasa nyeri gigi, sendi mulut, tonsil, atau tulang servikal karena telinga di sarafi oleh saraf sensoris yang berasal dari organ-organ tersebut.
5) Keluar cairan dari telinga (otore)
a) Apakah sekret keluar dari satu atau kedua telinga, disertai rasa sakit atau tidak dan sudah berapa lama.
b) Sekret yang sedikit biasanya berasal dari infeksi telinga luar dan sekret yang banyak dan bersifat mukoid umumnya berasal dari teklinga tengah. Bila berbau busuk menandakan adanya kolesteatom. Bila bercampur darah harus dicurigai adanya infeksi akut yang berat atau tumor. Bila cairan yang keluar seperti air jernih harus waspada adanya cairan liquor serebrospinal.

b. Tes audiometrik.
Merupakan pemeriksaan fungsi untuk mengetahui sensitivitas (mampu mendengar suara) dan perbedaan kata-kata (kemampuan membedakan bunyi kata-kata), dilaksanakan dnegan bantuan audiometrik.
Tujuan :
1) Menentukan apakah seseorang tidak mendengar.
2) Untuk mengetahui tingkatan kehilangan pendengaran.
3) Tingkat kemampuan menangkap pembicaraan.
4) Mengethaui sumber penyebab gangguan pada telinga media (gangguan konduktif) dari telinga tengah (sistem neurologi).
Pendengaran dapat didintifikasikan pada saat nol desibel naik sebelum seseorang mendengar suara frekuensi yang spesifik. Bunyi pada tik nol terdengar oleh orang yang pendengarannya normal. Sampai ke-20 db dianggap dalam tingakt normal.
6. Terapi OMSK
Tidak jarang memerlukan waktu lama serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain di sebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu :
a. Adanya perforasi membran timpani yang permanen sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar.
b. Terdapat sumber infeksi di laring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal.
c. Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid.
d. Gizi dan higiene yang kurang.
Prinsip terapi OMSK tipe maligna adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadi, bila terdapat OMSK tipe maligna maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan.
Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi (sederhana atau radikal).
Tujuan operasi ini untuk membuang semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Kerugian operasi ini adalah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur hidupnya. Pasien harus datang dengan teratur untuk kontrol supaya tidak terjadi infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali sehingga dapat menghambat pendidikan atau karier pasien.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga operasi serta membuat meatal-plasty yang lebar, sehingga rongga operasi kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus luar liang telinga menjadi lebar.
7. Tindakan Pembedahan
Timpanoplasti dengan pendekatan Ganda (Combined Approach Tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada kasus OMSK tipe maligna atau OMSK tipe benigna dnegan jaringan granulasi yang luas. Tujuan opeasi ini untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik matoidektomi radikal (tampa meruntuhkan dinding posterior liang telinga.
Membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di kavum timpani di kerjakan melalui 2 jalan (combined approach) yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Tehnik operasi ini pada OMSK tipe maligna belum disepakati oleh para ahli karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma kembali.

B. Asuhan Keperawatan
Fokus Pengkajian :
Data Subyektif :
Tanda-tanda dan gejala utama infeksi ekstrena dan media adalah neyeri serta hilangnya pendengaran. Data harus disertai pernyataan mengenai mulai serangan, lamanya, tingakt nyerinya. Rasa nyeri timbul karena adanya tekanan kepada kulit dinding saluran yang sangat sensitif dan kepada membran timpani oleh cairan getah radang yang terbentuk didalam telinga tengah. Saluran eksterna yang penuh dan cairan di telinga tengah mengganggu lewatnya gelombang suara, hal ini menyebabkan pendengaran berkurang.
Penderita dengan infeksi telinga perlu ditanya apakah ia mengerti tentang cara pencegahannya.
Data Obyektif :
Telinga eksterna dilihat apakah ada cairan yang keluar dan bila ada harus diterangkan. Palpasi pada telinga luar menimbulkan nyeri pada otitis eksterna dan media.
Pengkajian dari saluran luar dan gedang telinga (membran timpani). Gendang telinga sangat penting dalam pengkajian telinga, karena merupakan jendela untuk melihat proses penyakit pada telinga tengah. Membran timpani yang normal memperlihatkan warna yang sangat jelas, terlihat ke abu-abuan. Terletak pada membran atau terlihat batas-batasnya. Untuk visulaisasi telinga luar dan gendang telinga harus digunakan otoskop.
Bagian yang masuk ke telinga disebut speculum (corong) dan dengan ini gendang telinga dapat terlihat, untuk pengkajian yang lebih cermat perlu dipakai kaca pembesar. Otoskop dipakai oleh orang yang terlatih, termasuk para perawat.
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran.
Tujuan : Gangguan komunikasi berkurang / hilang.
Kriteria hasil :
a. Klien akan memakai alat bantu dengar (jika sesuai).
b. Menerima pesan melalui metoda pilihan (misal : komunikasi tulisan, bahasa lambang, berbicara dengan jelas pada telinga yang baik.
Intervensi Keperawatan :
1. Dapatkan apa metode komunikasi yang dinginkan dan catat pada rencana perawatan metode yang digunakan oleh staf dan klien, seperti :
a. Tulisan
b. Berbicara
c. Bahasa isyarat.
2. Kaji kemampuan untuk menerima pesan secara verbal.
a. Jika ia dapat mendegar pada satu telinga, berbicara dengan perlahan dan dengan jelas langsung ke telinga yang baik (hal ini lebih baik daripada berbicara dengan keras).
1) Tempatkan klien dengan telinga yang baik berhadapan dengan pintu.
2) Dekati klien dari sisi telinga yang baik.
b. Jika klien dapat membaca ucapan :
1) Lihat langsung pada klien dan bicaralah lambat dan jelas.
2) Hindari berdiri di depan cahaya karena dapat menyebabkan klien tidak dapat membaca bibi anda.
c. Perkecil distraksi yang dapat menghambat konsentrasi klien.
1) Minimalkan percakapan jika klien kelelahan atau gunakan komunikasi tertulis.
2) Tegaskan komunikasi penting dengan menuliskannya.
d. Jika ia hanya mampu bahasa isyarat, sediakan penerjemah. Alamatkan semua komunikasi pada klien, tidak kepada penerjemah. Jadi seolah-olah perawat sendiri yang langsung berbicara kepada klien dnegan mengabaikan keberadaan penerjemah.
3. Gunakan faktor-faktor yang meningkatkan pendengaran dan pemahaman.
a. Bicara dengan jelas, menghadap individu.
b. Ulangi jika klien tidak memahami seluruh isi pembicaraan.
c. Gunakan rabaan dan isyarat untuk meningkatkan komunikasi.
d. Validasi pemahaman individu dengan mengajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban lebih dari ya dan tidak.
Rasional :
1. Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan oleh klien maka metode yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan klien.
2. Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat kepada klien dapat diterima dengan baik oleh klien.
3. Memungkinkan komunikasi dua arah anatara perawat dengan klien dapat berjalan dnegan baik dan klien dapat menerima pesan perawat secara tepat.

2. Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dnegan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran.
Tujuan : Persepsi / sensoris baik.
Kriteria hasil.
Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris pendengaran samapi pada tingkat fungsional.
Intervensi Keperawatan :
a. Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat.
b. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
c. Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
d. Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
Rasional :
a. Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian, pemakaian serta perawatannya yang tepat.
b. Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi.
c. Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah pendengaran rusak secara permanen.
d. Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan organisme sisa berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut.

3. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
a. Klien mampu mengungkapkan ketakutan/kekuatirannya.
b. Respon klien tampak tersenyum.
Intervensi Keperawatan :
a. Jujur kepada klien ketika mendiskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi.
b. Berikan informasi mengenai kelompok yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami klien untuk memberikan dukungan kepada klien.
c. Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien.
Rasional :
a. Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.
b. Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan, justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat.
c. Memungkinkan klien untuk memilih metode komunikasi yang paling tepat untuk kehidupannya sehari-hari disesuaikan dnegan tingkat keterampilannya sehingga dapat mengurangi rasa cemas dan frustasinya.
d. Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat membantu klien.
e. Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk berkomunikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Dunna, D.I. Et al. 1995. Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2 nd Edition : WB Sauders.
Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan
Rothrock, C. J. 2000. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI : Jakarta