November 22, 2010

Konsep dan ASKEP Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)

Benigna Prostate Hiperplasia
1. Pengertian Benigna Prostate Hiperpalasia
Ada banyak pasien dengan usia di atas 50 tahun kelenjar prostatnya mengalami pembesaran , memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi orifisium uretra. Kondisi ini di kenel sebgai hiperplasia prostate jinak (BPH), perbesaran atau hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di tas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 2002).
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menyebebkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Purnomo, 2007 kelenjar prostat di bagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional;sedngkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testoteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan berubah menjadi metabolit aktif dihidrotestoteron (DHT) dengan bantuan enzim 5@- reduktase. Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung memacum-RNA di dalm sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pri yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi. (Purnomo,2007)



2. Etiologi Benigna Prostate Hiperpalasia
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitanya dengan peningkatan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang di duga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: a) teori dihidrotetstoteron, b) danya ketidak seimbangan antara estrogen-testoteron, c) interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat, d) berkurangnya kematian sel (apoptosis) dan, e) teori stem sel (Purnomo,2007).

3. Gambaran Klinis Benigna Prostate Hiperpalasia
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur, harus di perhatikan konsistensi prostat (pada pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal). Adakah asimetris, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat di raba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetris dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat juga di ketahui batu prostat bila teraba krepitasi.
Derajat berat obstruksi dapat di ukur dengan menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa urin di tentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula di ketahui dengan melakukan ultrasonografi kandungkemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc baisanya di anggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intevensi pada hipertrofi prostat.
Derajat berat obstruksi dapat pula di ukur dengan mengukur pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6-8 ml/detik. Sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesikal tidak dapat di bedakan dengan pengukuran pancaran kemih.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga menggangu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolitiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosa penyebab obstruksi maupunmenentukan kemungkinan penyulit harus di lakukan secar teratur.(Sjamsuhidajat, 2007)

4. Patofisiologi Benigna Prostate Hiperpalasia
Biasanya di temukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstuksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi di sebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit di tahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini di beri skor untuk menentukan berat keluhan klinis.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih di temukan sisa urin di dalam kandung kemih. Dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.karena produksi urin terus terjadi, pada suatu saat vesiak tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontenensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidrouretra, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Prosese kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistisis dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis (Sjamsuhidajat, 2007).

5. Penatalaksanaan Benigna Prostate Hiperpalasia
a. Penatalaksanaan Medikamentosa
Adapun tujuan dari pengobatan/terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah: a) memperbaiki keluhan miksi; b) meningkatkan kualitas hidup; c) mengurangi obstruksi infravesika; d) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal; e) mengurangi volume residu urin setelah miksi; f) mencegah progresifitas penyakit
Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa dengan tujuan mengurangi resistensi otot polos prostat sebagi komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa ( adrenergik alfa blocer) dan, mengurangi volume prostat sebagi komponen stastik dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron / dihidotestosteron ( DHT) melalui penghambat 5@-reduktase. Selain kedua cara di atas, sekarang banyak di pakai terapi menggunakan fitofarmaka yang mekanisme kerjanya masih belum jelas (Purnomo, 2007).

Tabel pilihan terapi pada hiperplasia prostat benigna
Observasi Medikamentosa Operasi Invasif minimal
Watchfull waiting a. Penghambat adrenergik-@
b. Penghambat reduktase-@
c. Fitoterapi
d. Hormonal a. Prostatektomi terbuka
b. Endourologi
- TURP
- TUIP
- TULP
c. Elektrovaporisasi a. TUMT
b. TUBD
c. Stent uretra
d. TUNA

Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan obstruksi , dan kondisi pasien. Jika pasien masuk rumah sakit dalam keadaan darurat karena tidak dapat berkemih, maka kateterisasi segera dilakukan. Kateter yang lazim mungkin terlalu lunak dan lemas untuk dimasukan melalui uretra kedalam kandung kemih.
Meskipun prostatektomi untuk membuang jaringan prostat yang mengalami hiperplastik sering dilakukan, terdapat juga pengobatan lain. Pengobatan ini mencakup ”watch-ful waiting,” insisi prostat transuretral (TUIP), dilatasi balon, penyekat alfa, dan inhibitor 5-@-reduktase. ”watch-ful waiting” adalah pengobatan yang sesui bagi banyak pasien karena kecenderungan progresi penyakit atau terjadi komplikasi tidak di ketahui. Pasien di pantau secara periodik terhadap keparahan gejala, temuan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan uji urologi diagnostik .terapi watchfull waiting ini di tunjukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya di beri penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhanya, misalanya 1) jangan mengkonsumsi kopi atu alkohol setelah makan malam; 2) kurangi konsumsi makanan dan minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat); 3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin; 4) kurangi makan pedas dan asin; dan 5) jangan menahan kencing terlalu lama
Penyekat reseptor alfa-1- adrenergik melemaskan otot halus kolum kandung kemih dan prostat. Meskipun kemanjuran jangka panjang preparat ini tidak di ketahui, preparat ini benar dapat menurunkan gejala pada banyak pasien. Riset tentang kegunaan jangka panjang preparat ini terus di lakukan (Purnomo,2007).

b. Prosedur Pembedahan (Operatif)
Beberapa prosedur di gunakan untuk mengangkat kelenjar bagian prostat yang mengalami hipertrofi: reseksi transuretral prostat, prostatektomi suprapubik, prostatektomi perineal , dan prostatektomi retropubik. Pada prosedur ini, dokter bedah mengangkat semua jaringan yang mengalami hiperplasia dan hanya meninggalkan bagian kapsul prostat. Pendekatan transuretral adalah prosedur tertutup: tiga lainnya adalah prosedur terbuka( diperlukan insisi bedah).
1) Reseksi Transuretral prostat (TUR atau TURP) adalah prosedur yang paling umum dan dapat di lakukan melalui endoskopi. Instrumen bedah dan optikal dimasuka secara langsung melalui uretra kedalam prostat, yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prosedur ini, yang tidak memerlukan insisi , dan digunakan untuk kelenjar dalam ukuran yang beragam dan ideal bagi pasien yang mempunyai resiko bedah yang buruk.
Pendekatan ini mempersingkat hari rawat. Namun demikian, sering timbul striktur , dan mungkin diperlukan tindakan ulang. Prostatektomi trans uretral jarang menyebabkan disfungsi efektif tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrograde karena pengangkatan jaringan prostat pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir kearah belakang kedalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
2) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Pendekatan ini lebih perktis ketika pendekatan lainya tidak memungkinkan, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Pada periode pascaoperatif, luka bedah mudah terkontiminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektum . lebih jauh lagi, inkontenensia, impotensi , atau cedera rektal lebih mungkin menjadi komplikasi dari pendekatan ini.
3) Prostatektomi retropubik adalah teknik lain dan lebih umum di banding pendekatan suprapubik. Dokter bedah membuat insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang hilang lebih dapat di kontrol baik dan letak bedah lebih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruangan retropubis.
4) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur lain untuk menangani BPH dengan cara memasukan instrumen melalui uretra. Satu atau buah insisi dibuat pada prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral. TUIP diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gm atau kuarang ) dan aka efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Prosedur ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi yang lebih rendah di banding prosedur bedah prostat lainya (AHCPR, 1994). (Brunner & Suddarth, 2002b)
5) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Suatu insisidi buat kedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Pendekatan demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan beberapa komplikasi terjadi, meskipun kehilangan darah mungkin lebih banyak dibanding dengan metode lainya. Kerugian lainya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomrn mayor.

c. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pre-op prostatectomy
a) kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang tindakan pembedahan dengan jenis tindakan pembedahan yang lain.
b) Informasikan klien untuk tindakan pembedahan tersebut, dengan di lakukannya pemasangan kateter serta drainase untuk luka insisi. Kaji tingkat pengetahuan dengan kecemasan klien post operatif dengan penambahan tindakan perawatan operatif.
c) Lakukan enema, dengan menggunakan 2% neomycin. Bilas perut sebelum dilkukan operasi.
d) Informasikan kepada klien hasil akhir dari pembedahan dan efek dari perawatan jangka panjang yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan sexsuality. (Lemone.P,2008).

2) Post-op Prostatektomi
a) monitor tanda-tanda vital untuk 24 jam pertama sesuai kebutuhan pasien yang mengalami bedah prostat memepunyai resiko terjadinya perdarahan dan infeksi. tanda gejalanya bisa di lihat dari peningkatan hasil dari observasi tanda-tanda vital.
b) memelihara intake dan output serta lakukan irigasi urin. Kaji frekuensi serta kepatenan kateter dan drainase. Monitor warna dan karakter dari urine. Kateter yang tersumbat bisa disebabkan adanya gumpalan darah yang tercampur dengan urine drainase sehingga bisa meningkatan resiko terjadinya perdarahan.
c) kaji dan atur pasien yang mengalami nyeri adapun nyeri yang disebabkan : antara lain 1) nyeri dengan adanya insisi; 2) blader spasme (kekakuan pada kandung kemih); 3) keram pada abdominan dengan adanya gas di usus. Analgesik dan steroid anti inflamasi (NSAID) di gunakan secara rutin untuk mengontrol adanya nyeri; 4) cegah terjadinya emboli dan kompresi yang akan menyebabkan pasien mempunyai resiko mengalami tromboemboli, dan membutuhkan pencegahan yang penting; 5) dorong pertahanan cairan intake 2-3 liter/ hari. Meningkatkan tekanan cairan setelah kateter di lepas dan sehinga mengurangi resiko terjadinya infeksi pada traktus urinarius. (Lemone.P,2008).

3) Perawatan post opertif TUR/ TURP
a) Pada 24 sampai 48 jam pertama, monitor adanya perdarahan menurut frankly kejadian ini bisa dibuktikan apabila adanya darah pada output urine. Peningkatan blader spasme, penurunan hemoglobin, hematokrit, takikardi dan hipotensi. Perdarhan post operatif kemungkinan berasal dari arteri dan vena, dan mungkin adanya endapan, blader spasme dan adanya obstruksi pada sistem drainase urine.
b) Intruksikan pemasangan three way kateter. Kateter dengan traksi, untuk tetap mempertahankan kaki/ tungkai di gunakan kateter No 18 dan 22. dengan kateter three way dimasukan balon 30-40 ml, pantau untuk tindakan TURP dengan memompakan balon turun kedalam prostatik fosa dan kateter.
c) Kaji volume tekanan berlebihan dan hiponatremia, dengan tanda gejala hiponatremia, himatokrit, hipertensi, bradikardi, nausea, dan kejang. Hasil gejala TURP dari irigasi tekanan ini terjadi setelah pembedahan.
d) Kaji output setiap 1-2 jam untuk warna konsistensi perdarahan dan, bllader spasme. CBI (Continous Bladder irigation ) Di gunakan untuk pencegahan adanya gumpalan darah yang terobstruksi pada urin output. sumbatan itu bisa mengakibatkan terjadinya perdarahan. (Lemone.P,2008).

6. Komplikasi Benigna Prostate Hiperpalasia
Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi bergantung pada jenis pembedahan dan mencakup hemoragi, pembentukan bekuan, obstruksi kateter, dan disfungsi seksual.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari. Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh, setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin. (perubahan anatomis pada uretra poterior menyebabkan ejakulasi retrograd). Vasektomi mungkin dilakukan selam pembedahan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deferens dan kedalam epididimis. Setelah prostatektomi total (biasanya untuk kanker) hampir selalu terjadi impotensi. Bagi pasien yang tidak ingin untuk kehilangan aktivitas seksualnya, implans prostetik penis mungkin digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual (Brunner & Suddarth, 2002)

7. Masalah kolaboratif komplikasi potensial
Burnner and Suddarth, 2002 mengemukanan masalah kolaboratif berdasarkan pendapat Capernito, adalah komplikasi fisiologis tertentu yang perawat pantau untuk mendeteksi awaitan atau perubahan dalam status hemodinamik pasien. Perawat mengelola masalah kolaboratif menggunakan intervensi program dokter dan program keperawatan untuk meminimalkan komplikasi dari kejadian post op prostatektomi.
Masalah kolaboratif komplikasi yang sering terjadi pada pasien post-op BPH
a. Hemoragi dan syok
Hemoragik dapat terjadi karena kelenjar prostat yang mengalami hiperplastik sangat banyak mengandung pembuluh darah, bahaya lansung setelah prostatektomi adalah pendarahan dan syok. Pendarahan dapat terjadi dari jaring-jaring prostat. Pendarahan juga dapat mengakibatkan pembentukan bekuan, yang kemudian menyumbat aliran urin. (Brunner & Suddarth, 2002b).
Hemoragi diklasifikasikan menjadi 1) hemoragie primer, terjadi pada sesaat pembedahan; 2) hemoragie intermediari, terjadi beberapa jam setelah pebedahan, merupakan kompensasi tubuh terhadap kenaikan tekanan darah ketingkat normal akibat dari pembuluh darah yang tidak terikan secara maksimal; 3) hemoragie sekunder, dapat terjadi beberapa waktu/hari setelah pembedahan, dapat terjadi bila adanya infeksi atau erosi oleh selang darinase (Brunner & Suddarth, 2002a).
Syok adalah komplikasi pasca operatif yang paling serius, syok dapat digambarkan suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama yaitu, curah jantung, volume darah, dan tonus vasomotor perifer. Perfusi jaringan yang tidak adekuat menyebabkan peningkatan glikolisis anaerobik dengan produksi banyak asam laktat (Brunner & Suddarth, 2002b). Syok yang dapat terjadi pada pasien bedah adalah syok hipovolemik dan syok neurogenik
Etiologi adalah kehilangan plasma: 1) luka bakar; 2) dermatitis eksfoliatif; 3) kehilangan cairan dan elektrolit eksternal: muntah, diare, keringat, yang berlebihan, keadaan hiperosmolar; 4) kehilangan cairan dan elektrolit Internal; pankreatitis, asites, obstruksi usus dan dampak dari pembedahan.
Manifestasi klinik antara lain: 1) tekanan darah sistemik rendah dan takikardi; 2) puncak tekanan darah sistolik 100 mmHg atau lebih dari 10% di bawah tekan darah yang telah diketahui; 3) hipoperfusi perifer; 4) vasokontriksi; 5) kulit dingin, lembab dan sianosis; 6) status mental terganggu, kebingungan, agitasi, koma; 7) oliguria, anuria;,0,5 ml/kg BB/jam; asidosis metabolik.
Intervensi terhadap hemoragik dan syok di diharapkan pasien dalam keadaan normovolemik, di tandai dengan keseimbangan M&H, FJ ≤100dpm (atau dalam rentang normal pasien), TD ≥ 90/60 mmHg (atau dalam rentang normal pasien) FP ≤20 kali/mnt, dan kulit hangat, kering, dan warna normal.

Intervensi yang dapat dilaksanakan terhadap pasien post op BPH (Brunner & Suddarth, 2002b), meliputi:
1) Sekembalinya pasien dari ruang pemulihan, pantau TV setiap 15 menit selam 30 menit pertama; jika stabil, periksa setiap 30 mnt selama 1 jam; dan kemudian setiap 4 jam selam 24 jam atau perkebijakan institusi. Waspadai peningkatan nadi, penurunan TD, diaforesis, pucat, dan peningkatan pernafasan yang dapat terjadi pada hemoragi dan ancaman syok.
2) Pantau dan catat M&H setiap 8 jam. Kurangi jumlah cairan yang digunakan pada irigasi kandung kemih dan haluran total.
3) Pantau darinase kateter dengan cermat selama 24 jam pertama. Perhatikan terhadap drainase gelap yang tidak menjadi merah ke merahanmudaan atau drainase yang tetap kental setelah irigasi, yang menendakan perdarahan vena dalam sisi operasi. Drinase harus menjadi merah muda atau sedikit berdarah dalam 24 jam setelah pembedahan.
4) Waspadai drainase merah terang, kental setiap waktu, yang dapat terjadi pada perdarahan arteri dalam sisi operasi.
5) Jangan mengukur suhu per rektal atau memasukan selang atau enema ke dalam rektum. Instruksikan pasien untuk tidak mengejan saat defekasi atau duduk terlalu lama. Tindakan ini dapat meningkatkan tekanan pada kapsul prostat dan dapat menimbulkan hemoragi. Dapatkan pesanan dan berikan pelunak feses atau katartik sesui petunjuk.
6) Pantau pasien terhadap tanda koagulasi intravaskuler desimenata, yang dapat terjadi akibat pelepasan sejumlah besar tromboplastin jaringan, yang dapat terjadi selam reseksi transuretral prostat (TURP). Perhatiakan terhadap perdarahan aktif (merah gelap) tanpa bekuan dan rembesan tidak biasanya dari semua sisi pungsi. Laporkan temuan yang bermakna dengan segera jika ini terjadi. Untuk informasi lebih lanjut lihat ”koagulasi intravaskuler desimenata”. (Swearingen,RN.2001)

b. Infeksi/sepsis luka
Terjadinya infeksi pasca operatif diakibat oleh infasi bakteri atau mikroorganisme seperti staphylococcus aureus, escherhia coli, proteus vulgaris, aerobacter aereo-genes dan organisme lainnya ke dalam sirkulasi darah melalui luka operasi. Infeksi pasca operatif yang sering terjadi adalah 1) Selulitis yaitu infeksi bakteri yang menyebar kedalam bidang jaringan; 2) Limfangitis adalah penyebaran infeksi dari selulitis atau abses ke sistem limfatik; 3) Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (Brunner & Suddarth, 2002a).
Infeksi setelah prostatektomi perineal kemungkinan untuk terjadi sangat besar, sehingga dapat dihindari dengan cara: 1) balutan dapat ditahan di tempatnya dengan menggunakan tali ganda, perban T-binder atau penyangga atletik yang mempunyai bantalan; tali melintang di atas insisi untuk memberikan ketebalan ganda, dan kemudian tali di tarik pada setiap sisi skrotum sampai garis pinggang dan diikatkan; 2) menghindari penggunaan termometer rektal, selang rektal, dan enema karena dapat memberi resiko terhadap cedera dan pendarahan pada fosa prostatik; 3 ) setelah jahitan perineal diangkat, perineum dibersihkan sesuai indikai; 4) skrotum dilindungi dengan handuk ketika lampu pemanas digunakan untk meningkatkan penyembuhan (Brunner & Suddarth, 2002b).
Infeksi saluran kemih dan epididimitis adalah komplikasi yang mungkin setelah prostatektomi. Pasien dikaji terhadap kejadianya; dan diberikan antibiotik sesuai yang diresepkan (Brunner & Suddarth, 2002b).
Selain itu infeksi luka merupakan penyebab terjadinya demam pasca bedah dan morbiditas pasien; sehingga pemeriksaan luka juga komponen penting pemeriksaan pasca bedah bagi demam. Sepsis luka dapat tampil dalam 24 jam setelah operasi jika organisme penyebabanya sterptokokus atau klostridium, infeksi yang karna organisme terkhir sangat serius, mis mionekrosis klostridium (gangren gas) dapat cepat berkembang dengan akibat buruk. Tetapi biasanya lebih lazim demam akibat infeksi luka timbul setelah hari keempat pasca bedah, karna masa inkubasi yang agak lebih lam diperlukan untuk gram negatif usus atau kontaminan stafilokokus eksogen-endogen yang sering menyebabkan untuk mencapai tingkat bermakna (Brunner & Suddarth, 2002b).
Intervensi keperawatan yang dilaksanakan lebih difokuskan kepada pemantauan terhadapa tanda-tanda terjadinya infeksi (Carpenito, 2001), meliputi:
1) Pantau TV pasien dan status mental pada interval sering terhadap iindikator tahap awal (hangat) dari syok septik. Selama 24 jam pertama setelah pembedahan, waspadai suhu 38,3-40˚C, yang terjadi pada infeksi karna penigkatan aktifitas metabolik dan pelepasan pirogen. Juga kaji terhadap peningkatan FP dan FJ sedang dan penurunan TD. Tanda sirkulasi klasik dari kolaps terjadi pada tahap lanjut (dingin) dari syok septik: penurunan tajam dari FJ (mekanisme kompensasi untuk memperthankan curah jantung), dan penurunan FP( karna depersi pusat pernapasan). Status mental berubah menjadi perilaku tidak tepat, perubahan kepribadian, gelisah, peningkatan letergi, dab disorentasi menandakan hipoksia karena penurunan perfusi serebral.
2) Pantau kulit pasien terhadap kemerahan dan hangat, yang merupakan tanda dini dari syok septik karna vasodilatasi. Pada tahap dingin dari syok septik, kulit menjadi dingin dan pucat karena vasokontriksi terus menerus.
3) Pantau haluaran urin pasien tehadap penurunan dan peningkatan konsentrasi (berat jenis normal 1,010-1,020).
4) Beritahu dokter dengan segera jika syok septik dicurigai. siapkan untuk hal berikut ini bila terjadi syok septik: infus IV (mis, ringer laktat atau saline normal); pemberian oksigen; spesimen untuk darah lengkap; GDA; dan nilai elektrolit, dan pemberian antibiotik.

c. Trombosis
Trombosis vena adalah suatu kondisi yang menggambarkan individu yang mengalami pembentukan bekuan vena karena statis darah, cedera dinding pembendungan darah, atau perubahan koagulasi. Pasien yang menjalani prostatektomi mempunyai insidens tinggi untuk mengalami trombosis vena profunda. Trombosis vena profunda (TVP) adalah trombosis pada vena yang letaknya dalam dan bukan superfisial, komplikasi serius dari TVP adalah embolisme pulmunari dan sindrom pascaflebitis. (Brunner& Suddarth, 2002b).
Pasien secara pasca operatif yang beresiko tinggi terhadap TVP adalah: 1) pasien ortopedik yang menjalani bedah panggul, dan bedah ekstremitas bawah lainnya; 2) pasien urologi yang menjalanai protatektomi trans-uretral dan pasien lebih tua yang menjnalani bedah urologi; 3) pasien bedah umum yang berusia diatas 40 tahun, kegemukan, malignasi, atau yang menjanai prosedur operasi yang lama dan rumit; 5) pasien genekologi dengan usia diatas 40 tahun dengan faktor resiko tambahan (varises, infeksi, malignasi, obesitas); 6) pasien bedah neuro (Brunner& Suddarth, 2002a).
Upaya yang diarahkan pada pencegahan pembentukan trombus berupa 1) latihan tungkai; 2) dalam pengunaan strap tungkai jangan terlalu dikencangkan; 3) menghindari penggunaan selimut yang digulung, bantal yang digulung, atau bentuk lainya untuk meninggikan tungkai karena dapat menyumbat pembuluh darah dibawah lutut; 4) hindarkan pasien untuk duduk ditepi tempat tidur dengan menggantukna kaki dalam waktu yang lama (Brunner& Suddarth, 2002a).
Intervensi keperawatan lebih difokuskan kepada pemantauan terhadap tenda-tanda terbentuknya trombus (Capernito, 2001), intervensi ini meliputi:
1) Pantau status trombosis vena, perhatikan
a. Penurunan atau hilangnya nadi perifer, (Insufisiensi sirkulasi menyebabkan nyeri dan tidak terabanya nadi perifer).
b. Rasa panas dan kemerhan atau kedinginan dan sianosis yang tidak biasanya ;(rasa panas dan kemerahan yang tidak biasanya menandakan adanya suatu inflamasi; rasa dingin dan sianosis memberikan indikasi adanya obstruksi vaskuler).
c. Peningkatan rasa nyeri pada kaki ;(rasa nyeri pada kaki disebabkan oleh hipoksia jaringan).
d. Nyeri dada tiba-tiba, peningkatan dispnea, takipnea (obstruksi sirkulasi pulmonal menyebabkan nyeri dad tiba-tiba dan dispnea).
e. Tanda-tanda hormon positif;(tanda hormon dikatakan positif bila pada posisi dorsifleksi; kaki terasa nyeri;rasa nyeri karena insufisiensi sirkulasi kurang).
2) Lakukan konsultasi dengan dokter untuk penggunaan stoking antiemboli atau alat penekan pada bagian-bagian tertentu, penurunan posisi dekstran, atau pengobatan antikoagulasi bagi klien-klien yang beresiko tinggi, serta Jelaskan kegunaan stoking antiemboli.(dengan pemakian stoking menurunkan vena-vena yang statis melalui tekanan sedemikian rupa pada pergelangan kaki dan betis).
3) Lakukan penilaian status hindrasi berdasarkan berat jenis urine, pemasukan/pengeluaran, berat badan, dan osmolaritas serum. Berikan jangka waktu untuk memastikan hidrasi yang adekuat.(peningkatan viskositas darah, koagulasi, dan penurunan curah jantung berperan dalam pembentukan trombus).
4) Tinggikan ekstremitas yang sakit pada posisi di atas jantung (dengan posisi ini dapat membantu menurunkan pembengkakan intertisial melalui peningkatan aliran balik balik vena)
5) Berikan anjuran pada klien untuk menghindari rokok.(nikotin dapat menyebabkan vasospasme).
6) Berikan pengobatan antikoagulasi yang ditentukan dokter dan pantau hasil koagulasi darah setiap hari. (pemberian antikoagulan bertujuan dan menghindari terbentuknya trombosis dengan cara memperlambat waktu pembekuan darah).
7) Pada klien yang menerima pengobatan antiloagulasi, pantau tanda-tanda dini dari perdarahan abnormal.(mis, hematuria, perdarah gusi, ekomosis, petekie, epistaksis). Berikan analgesik pada kaki yang sakit sesuai program.

d. Obstruksi kateter
Masalah kolaboratif kateter terobstruksi setelah reseksi prostat trans-uretral adalah kateter harus lancar, kateter yang mengalami obstruksi menyebabkan distensi kapsul prostat dan mengakibatkan hemoragi. Urosemid (lasix) mungkin diresepkan untuk meningkatkan urinasi dan megawali diuresis pascaopertif, dengan demikian membantu untuk mempertahankan patensi kateter (Brunner& Suddarth, 2002b).
Tindakan pencegahan agar tidak terjadi obstruksi kateter meliputi: a) abdomen bagian bawah diamati untuk memastikan bahwa kateter tidak tersumbat, kandung kemih yang penuh akan nampak bengkak membulat jelas diatas pubis; b) kantung drainase, balutan, dan letak insisi diperiksa terhadap pendarahan, warna urin dicatat dan di dokumentasikan; perubahan warna dari merah muda menjadi kekuning-kunigan menandakan penurunan perdarahan; c) tekanan darah, nadi, dan pernafasan di pantau dan dibandingkan dengan nilai dasar dari tanda-tanda vital praopertif untuk mendeteksi hipotensi. Perawat juga mengamati pasien terhadap adanya perilaku gelisah, keringat dingin, pucat, dan setiap penurunan tekanan darah, dan peningkatan frekuensi nadi (Brunner& Suddarth, 2002b).
Pelepasan kateter yang baik dan benar serta efektif dapat mengurangi masalah-masalah kolaboratif, setelah kateter di lepaskan (biasanya ketika urin tampak jernih), urin dapat bocor di sekitar luka selam beberapa hari pada pasien yang telah menjalani bedah perineal, suprapubik, dan retropubik. Kateter sistostomi mungkin dilepaskan sebelum atau setelah kateter uretral dilepaskan (Brunner& Suddarth, 2002b).
Inkontenensia derajat tertentu dapat terjadi setelah kateter dilepaskan dan pasien diinformasikan bahwa hal ini kemungkinan akan hilang.karena kelenjar prostat yang mengalami hiperplastik sangat banyak mengandung pembuluh darah, bahaya langsung setelah prostatektomi adalah perdarahan dan syok. Perdarahan dapat terjadi dari jaring-jaring (Brunner& Suddarth, 2002b).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar