Desember 12, 2010

KONSEP DASAR HEMODIALISA dan CKD/CRF

A. KONSEP DASAR HEMODIALISA

1. Definisi
Dialisis merupakan
• Suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
• Suatu proses pembuatan zat terlarut dan cairan dari darah melewati membrane semi permeable. Ini berdasarkan pada prinsip difusi; osmosis dan ultra filtrasi.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD; end-stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanent. Sehelai membrane sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu.
Bagi penderita GGK, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien-pasien ini harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya (biasanya 3 kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi) atau sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan terapi dialysis yang kronis kalau terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia.
2. Tujuan
Mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode terapi mencakup hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal dialysis. Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanent atau menyebabkan kematian. Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan. Peritoneal dialysis mengeluarkan cairan lebih lambat daripada bentuk-bentuk dialysis yang lain.
3. Indikasi
Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi :
1. Hiperkalemia ( K > 6 mEq/l)
2. Asidosis
3. kegagalan terapi konservatif
4. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah
5. Kelebihan cairan.
6. Perikarditis dan konfusi yang berat.
7. Hiperkalsemia dan hipertensi.
4. Prinsip Hemodialisa
Prinsip mayor/proses hemodialisa
a. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
1) Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip “mendorong” cairan menyeberangi membrane.
2) Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative “menarik” cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable terhadap air.
5. Perangkat Hemodialisa
a. Perangkat khusus
1) Mesin hemodialisa
2) Ginjal buatan (dializer) yaitu : alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme atau zat toksin laindari dalam tubuh. Didalamnya terdapat 2 ruangan atau kompartemen :
- kompartemen darah
- kompartemen dialisat.

Darah kembali kebadan

darah dari fistula ginjal buatan

heparin kompartemen darah




Kompartemen dialisat

Pembuangan dialisat dialirkan pompa

3) Blood lines : selang yang mengalirkan darah dari tubuh ke dializer dan kembali ke tubuh. Mempunyai 2 fungsi :
 Untuk mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa metablolisme.
 Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialysis.

2. Alat-alat kesehatan :
 Tempat tidur fungsional
 Timbangan BB
 Pengukur TB
 Stetoskop
 Termometer
 Peralatan EKG
 Set O2 lengkap
 Suction set
 Meja tindakan.
3. Obat-obatan dan cairan :
- Obat-obatan hemodialisa : heparin, frotamin, lidocain untuk anestesi.
- Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
- Dialisat
- Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
- Obat-obatan emergency.
6. Pedoman pelaksanaan hemodialisa
a. Perawatan sebelum hemodialisa
1) Sambungkan selang air dari mesin hemodialisa.
2) Kran air dibuka.
3) Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk keluar atau saluran pembuangan.
4) Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak.
5) Hidupkan mesin.
6) Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit.
7) Matikan mesin hemodialisis.
8) Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.
9) Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin hemodialisis.
10) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap).
b. Menyiapkan sirkulasi darah.
1) Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.
2) Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi ‘inset’ (tanda merah) diatas dan posisi ‘outset’ (tanda biru) dibawah.
3) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung ‘inset’ dari dialiser.
4) Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung ‘outset’ adri dialiser dan tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.
5) Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.
6) Hubungkan set infuse ke slang arteri.
7) Bukalah klem NaCl 0,9%. Isi slang arteri sampai keujung selang lalu klem.
8) Memutarkan letak dialiser dengan posisi ‘inset’ dibawah dan ‘ouset’ diatas, tujuannya agar dialiser bebas dari udara.
9) Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
10) Buka klem dari infuse set ABL, UBL.
11) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/mnt, kemudian naikkan secara bertahap sampai 200 ml/mnt.
12) Isi buble tap dengan NaCl 0,9% sampai 3/4 cairan.
13) Memberikan tekanan secara intermitten pada UBL untuk mengalirkan udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan dialiser bebas udara (tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
14) Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc yang terdapat pada botol (kalf). Sisanya ditampung pada gelas ukur.
15) Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru.
16) Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.
17) Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru 15-20 menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.
18) Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana ‘inset’ diatas dan ‘outset’ dibawah.
19) Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10 menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
c. Persiapan pasien.
1) Menimbang BB
2) Mengatur posisi pasien.
3) Observasi KU
4) Observasi TTV
5) Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti dibawah ini:
o Dengan interval A-V Shunt/fistula simino
o Dengan eksternal A-V Shunt/schungula.
o Tanpa 1-2 (vena pulmonalis).
7. Komplikasi yang terjadi
a. Hipotensi
Penyebab : terlalu banyak darah dalam sirkulasi mesin, ultrafiltrasi berlebihan, obat-obatan anti hipertensi.
b. Mual dan muntah
Penyebab : gangguan GI, ketakutan, reaksi obat, hipotensi.
c. Sakit kepala
Penyebab : tekanan darah tinggi, ketakutan.
d. Demam disertai menggigil.
Penyebab : reaksi fibrogen, reaksi transfuse, kontaminasi bakteri pada sirkulasi darah.
e. Nyeri dada.
Penyebab : minum obat jantung tidak teratur, program HD yang terlalu cepat.
f. Gatal-gatal
Penyebab : jadwal dialysis yang tidak teratur, sedang.sesudah transfuse kulit kering.
g. Perdarahan amino setelah dialysis.
Penyebab : tempat tusukan membesar, masa pembekuan darah lama, dosis heparin berlebihan, tekanan darah tinggi, penekanan, tekanan tidak tepat.
h. Kram otot
Penyebab : penarikan cairan dibawah BB standar. Penarikan cairan terlalu cepat (UFR meningkat) cairan dialisat dengan Na rendah BB naik > 1kg. Posisi tidur berubah terlalu cepat.
8. Diagnosa Keperawatan yang muncul
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelemahan proses pengaturan
b. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang familier dengan sumber informasi.
c. Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan kurang kontrol, ketergantungan pada dialysis, sifat kronis penyakit
d. Risiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler dan komplikasi sekunder terhadap penusukan


B. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


1. Pengertian
Chronic Kidney Disease ( CKD ) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
2. Etiologi
Chronic Kidney Disease ( CKD ) terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.
a. Infeksi
Pielonefritis kronik.
b. Penyakit peradangan
Glomerulonefritis.
c. Penyakit vaskuler hipertensif
Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
d. Gangguan jaringan penyambung
SLE, poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
e. Gangguan kongenital dan herediter
Penyakit ginjal polikistik,asidosis tubuler ginjal.
f. Penyakit metabolik
DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
g. Nefropati obstruktif
Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
h. Nefropati obstruktif
1) Sal. Kemih bagian atas:
Kalkuli, neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
2) Sal. Kemih bagian bawah:
Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
3. Patofisiologi
Patofisiologi umum CKD
a. Sudut pandang tradisional
Semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar- banar rusak atau berubah struktur.
b. Hipotesis Bricker (hipotesis nefron yang utuh)
“Bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal”. Uremia akan timbul bila jumlah nefron sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit yang tidak dapat dipertahankan lagi.

Jumlah nefron turun secara progresif

Ginjal melakukan adaptasi (kompensasi)
-sisa nefron mengalami hipertropi
-peningkatan kecepatan filtrasi, beban solute dan reabsorbsi
tubulus dalam tiap nefron, meskipun GFR untuk seluruh massa nefron menurun di bawah normal

Kehilangan cairan dan elektrolit dpt dipertahankan

Jk 75% massa nefron hancur
Kecepatan filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron meningkat

Keseimbangan glomerulus dan tubulus tidak dapat dipertahankan

Fleksibilitas proses ekskresi & konversi solute &air ↓
Sedikit perubahan pada diit mengakibatkan keseimbangan terganggu

Hilangnya kemampuan memekatkan/mengencerkan kemih
BJ 1,010 atau 2,85 mOsml (= konsentrasi plasma)

poliuri, nokturia, nefron tidak dapat lagi mengkompensasi dgn tepat
terhadap kelebihan dan kekurangan Na atau air



Toksik Uremik
Gagal ginjal tahap akhir

↓GFR


Kreatinin ↑ Prod. Met. Prot. Tertimbun ↑ phosphate serum
Dalam darah ↓ kalsium serum

Sekresi parathormon

Tubuh tdk berespon dgn N

Kalsium di tulang ↓

Met.aktif vit D↓
Perub.pa tulang/osteodistrofi ginjal


4. Klasifikasi CKD (Chronic Kidney Disease)
Stage Gambaran kerusakan ginjal GFR (ml/min/1,73 m2)
1 Normal atau elevated GFR ≥ 90
2 Mild decrease in GFR 60-89
3 Moderate decrease in GFR 30-59
4 Severe decrease in GFR 15-29
5 Requires dialysis ≤ 15

5. Tanda Dan Gejala
1. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
a. Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
b. Defisiensi hormone eritropoetin
Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin →Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
2. Kelainan Saluran cerna
a. Mual, muntah, hicthcup
dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) → iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
b. Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.

c. Pankreatitis
Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.
3. Kelainan mata
4. Kardiovaskuler :
o Hipertensi
o Pitting edema
o Edema periorbital
o Pembesaran vena leher
o Friction Rub Pericardial
5. Kelainan kulit
a. Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
a). Toksik uremia yang kurang terdialisis
b). Peningkatan kadar kalium phosphor
c). Alergi bahan-bahan dalam proses HD
b. Kering bersisik
Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit.
c. Kulit mudah memar
d. Kulit kering dan bersisik
e. rambut tipis dan kasar
5. Neuropsikiatri
6. Kelainan selaput serosa
7. Neurologi :
 Kelemahan dan keletihan
 Konfusi
 Disorientasi
 Kejang
 Kelemahan pada tungkai
 rasa panas pada telapak kaki
 Perubahan Perilaku
8. Kardiomegali.
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien menderita apa yang disebut SINDROM UREMIK

Terdapat dua kelompok gejala klinis :
 Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi ; kelainan volume cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal.
 Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan lainnya

MANISFESTASI SINDROM UREMIK
Sistem tubuh Manifestasi
Biokimia  Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L)
 Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN, kreatinin)
 Hiperkalemia
 Retensi atau pembuangan Natrium
 Hipermagnesia
 Hiperurisemia
Perkemihan& Kelamin  Poliuria, menuju oliguri lalu anuria
 Nokturia, pembalikan irama diurnal
 Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010
 Protein silinder
 Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas
Kardiovaskular  Hipertensi
 Retinopati dan enselopati hipertensif
 Beban sirkulasi berlebihan
 Edema
 Gagal jantung kongestif
 Perikarditis (friction rub)
 Disritmia
Pernafasan  Pernafasan Kusmaul, dispnea
 Edema paru
 Pneumonitis
Hematologik  Anemia menyebabkan kelelahan
 Hemolisis
 Kecenderungan perdarahan
 Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK, pneumonia,septikemia)
Kulit  Pucat, pigmentasi
 Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan dengan kehilangan protein)
 Pruritus
 “kristal” uremik
 kulit kering
 memar
Saluran cerna  Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB
 Nafas berbau amoniak
 Rasa kecap logam, mulut kering
 Stomatitis, parotitid
 Gastritis, enteritis
 Perdarahan saluran cerna
 Diare
Metabolisme intermedier  Protein-intoleransi, sintesisi abnormal
 Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun
 Lemak-peninggian kadar trigliserida
Neuromuskular  Mudah lelah
 Otot mengecil dan lemah
 Susunan saraf pusat :
 Penurunan ketajaman mental
 Konsentrasi buruk
 Apati
 Letargi/gelisah, insomnia
 Kekacauan mental
 Koma
 Otot berkedut, asteriksis, kejang
 Neuropati perifer :
 Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
 Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi
 Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut menjadi paraplegi
Gangguan kalsium dan rangka  Hiperfosfatemia, hipokalsemia
 Hiperparatiroidisme sekunder
 Osteodistropi ginjal
 Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
 Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru)
 Konjungtivitis (uremik mata merah)

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
- Ureum kreatinin.
- Asam urat serum.
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
- Analisis urin rutin
- Mikrobiologi urin
- Kimia darah
- Elektrolit
- Imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit
- Progresifitas penurunan fungsi ginjal
- Ureum kreatinin, klearens kreatinin test
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:
Laki-laki :

(140 – umur ) X BB (kg)
CCT =
72 x kreatinin serum ( mg/dL )

Wanita : 0,85 x CCT
Perhitungan terbaik LFG adalah dengan menentukan bersihan kreatinin yaitu :
Kreatinin urin (mg/dL)xVol.urin (mL/24 jam)
Bersihan kreatinin :
Kreatinin serum ( mg/dL ) x 1440 menit
Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau
0,93 - 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau
0,85 - 1,23 mL/detik/m2

- Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
- Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
- Endokrin : PTH dan T3,T4
- Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk ginjal, misalnya: infark miokard.

2. Diagnostik
a. Etiologi CKD dan terminal
- Foto polos abdomen.
- USG.
- Nefrotogram.
- Pielografi retrograde.
- Pielografi antegrade.
- Mictuating Cysto Urography (MCU).
b. Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
- RetRogram
- USG.
7. Managemen Terapi
a. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease ( CKD ) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
1) Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
2) Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
3) Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
4) Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Alur manajemen terapi pada klien Cronic Kidney Desease (CKD) dan terminal sebagai berikut;

CKD
Terapi konservatif
Penyakit ginjal terminal

meninggal Dialisis HD di RS, Rumah, CAPD
gagal
Transplantasi ginjal berhasil

Prinsip terapi konservatif :
1) Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
a) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
b) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan hipotensi.
c) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
d) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
e) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
f) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
g) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi medis yang kuat.
2) Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
a) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
b) Kendalikan terapi ISK.
c) Diet protein yang proporsional.
d) Kendalikan hiperfosfatemia.
e) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
f) Terapi hIperfosfatemia.
g) Terapi keadaan asidosis metabolik.
h) Kendalikan keadaan hiperglikemia.
3) Terapi alleviative gejala asotemia
a) Pembatasan konsumsi protein hewani.
b) Terapi keluhan gatal-gatal.
c) Terapi keluhan gastrointestinal.
d) Terapi keluhan neuromuskuler.
e) Terapi keluhan tulang dan sendi.
f) Terapi anemia.
g) Terapi setiap infeksi.
b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum K+ ( hiperkalemia ) :
a) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
b) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
2) Anemia
a) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin ( ESF : Eritroportic Stimulating Faktor ). Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian30-530 U per kg BB.
b) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.
c) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif ,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :
 HCT < atau sama dengan 20 %
 Hb < atau sama dengan 7 mg5
 Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia dan high output heart failure.
Komplikasi tranfusi darah :
 Hemosiderosis
 Supresi sumsum tulang
 Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
 Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
 Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana transplantasi ginjal.
3) Kelainan Kulit
a) Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden meningkat pada klien yang mengalami HD.
Keluhan :
 Bersifat subyektif
 Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan lichen symply
Beberapa pilihan terapi :
 Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme
 Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
 Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg, terapi ini bisa diulang apabila diperlukan
 Pemberian obat
Diphenhidramine 25-50 P.O
Hidroxyzine 10 mg P.O
b) Easy Bruishing
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan denga retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi yang diperlukan adalah tindakan dialisis.
4) Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya :
a) HD reguler.
b) Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
c) Operasi sub total paratiroidektomi.
5) Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi :
1). Restriksi garam dapur.
2). Diuresis dan Ultrafiltrasi.
3). Obat-obat antihipertensi.
c. Terapi pengganti
Adalah terapi yang menggantikan fungsi ginjal yang telah mengalami kegagalan fungsi ginjal baik kronik maupun terminal. Pada masa sekarang ini ada dua jenis terapi :
1) Dialisis yang meliputi :
a) Hemodialisa
b) Peritoneal dialisis, yang terkenal dengan Continous Ambulatory Peritoneal Dialisis ( CAPD ) atau Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan ( DPMB ).
2) Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
8. Komplikasi
a. Hipertensi.
b. Hiperkalemia.
c. Anemia.
d. Asidosis metabolik.
e. Osteodistropi ginjal.
f. Sepsis.
g. Neuropati perifer.
h. Hiperuremia.

DAFTAR PUSTAKA
Bongard, Frederic, S. Sue, darryl. Y, 1994, Current Critical, Care Diagnosis and Treatment, first Edition, Paramount Publishing Bussiness and Group, Los Angeles
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 volume 2, EGC, Jakarta
Haryani dan Siswandi, 2004, Nursing Diagnosis: A Guide To Planning Care, available on: www.Us.Elsevierhealth.com
IIOWA Outcomes Project, 2000, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, Mosby Year Book, USA.
McCloskey, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby, USA
Nanda, 2009, Nursing Diagnosis Deffinition and Classification, Mosby year Book. USA
Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M, 1996, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses penyakit, Edisi empat, EGC, Jakarta
Ralph & Rosenberg, 2003, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2005-2006, Philadelphia USA
Soeparman & Waspadji, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi 3, FKUI, Jakarta
Widmann, 1995, Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 9, EGC, Jakarta

Desember 08, 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TINDAKAN RADIKAL MASTOIDEKTOMI AKIBAT OTITIS MEDIA KRONIK

OPERASI RADIKAL MASTOIDEKTOMI

A. Konsep Dasar Otitis Media Kronik
1. Pengertian
Otitis media kronik adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan secret yang keluar dari telinga tengah secara terus –menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Syamsuhidajat,1997).
2. Penyebab
Penyebab terjadinya otitis media kronik adalah biasanya terjadi sebagai lanjutan otitis media akuta karena :
a. Otitis media akut yang tidak mendapat pengobatan pada stadium dini
b. Pengobatan otitis media akut yang tidak adekuat
c. Virulensi kuman yang tinggi
d. Daya tahan tubuh yang rendah
e. Adanya infeksi fokal di daerah hidung dan faring
Kuman penyebabnya adalah :
a. Streptococcus.
b. Stapilococcus.
c. Diplococcus pneumonie.
d. Hemopilus influens.
3. Jenis Otitis Media

Otitis Media
Otitis media supuratif Otitis media non Supuratif
(Otitis media serosa)
Otitis media akut (OMA) Otitis media serosa akut
(lebih 2 bulan)

Otitis media supuratip kronis Otitis media serosa kronis
(OMSK) (Glue ear)


a. Otitis Media Kronik Benigna
Otitis media kronik benigna dapat hilang timbul, di mana dalam perjalanan penyakitnya ada masa sembuh. Biasanya kambuh lagi bila ada infeksi hidung atau infeksi dari luar melalui perforasi pada membran timpani (misalnya sehabis berenang). Komplikasi yang serius jarang terjadi. Kecuali apabila tidak mendapat pengobatan yang adekuat, maka proses peradangan akan meuas dan keluhan akan bertambah
Pada anamnesis didapatkan :
1) keluhan penderita tidak berat
2) Tidak ada rasa nyeri di belakang telinga
3) Sekret yang keluar tidak banyak dan tidak berbau busuk
Pada pemeriksaan didapatkan :
1) Sekret tidak banyak dan tidak begitu berbau busuk
2) Gangguan pendengaran tidak berat
3) Perforasi membaran timpani sentral dan mukosa tidak menebal
Penatalaksanaan :
1) Konservatif
2) Operatif
Konservatif :
1) Pembersihan secret di liang telinga (toilet local, “drainage”) merupakan hal yang penting untuk pengobatan ottitis media kronik
Ada beberapa cara untuk membersihkan secret :
a. Dengan menggunakan kapas lidi. Tindakan ini dianjurkan sesering-seringnya dila ada otore. Dapat diajarkan kepada penderita atau orang tua penderita.
b. “Displacement methode” dapat dengan menggunakan larutan hydrogen peroksida (H2O2) 3%, karena adanya gas O2 yang ditimbulkan
c. Bila mungkin secret dihisap secara hati-hati dengan menggunakan jarum kecil plastik, misalnya jarum BWG no. 16 dan 18 yang ujungnya diberi kateter nelaton yang kecil atau karet pentil.
2) Pengobatan Lokal
Diberikan antibiotik tetes telinga. Pemberian antibiotik tetes telinga tidak ada gunanya bila masih ada otore yang produktif. Oleh karena itu pemberian antibiotik local dianjurkan setelah dilakukan toilet local. Harus diterangkan terlebih dahulu cara pemakaian H2O2 3% ke dalam telinga yang sakit kemudian bersihkan dengan kapas lidi baru, setelah itu masukkan antibiotik tetes telinga dengan cara kepala dimiringkan dan tragus ditekan tekan supaya obat tetes masuk ke dalam
3) Antibiotika yang adekuat oral atau parenteral. Ini diberikan apabila ada eksaserbasi akut yang didahului oleh infeksi hidung atau faring
Operatif :
Tindakan operatif dilakukan bila terdapat fokal infeksi yang mungkin dijumpai seperti tonsillitis kronik, sinusitis dan lain-lain
Jenis-jenis Tindakan Operatif
1) Miringoplasty atau Timpanopalsty
Operasi ini dianjurkan apabila
• Infeksi sudah tenang
• Tidak ada komplikasi
• Sekret tidak produktif lagi dalam waktu lama (1-3 bulan)
• Tidak terdapat tuli saraf yang berat
Miringoplasty adalah operasi semata-mata melakukan rekonstruksi membaran timpani yang telah dirusak
2) Timpanoplasty adalah operasi eksplorasi pada seluruh bagian telinga tengah, yaitu membran timpani, tulang-tulang pendengaran kavum mastoideum, tuba eustachii, dan kedua jendela labirin. Semua jaringan yang sakit dibuang, ditetapkan kembali fungsi yang terganggu dan dilakukan rekonstruksi pada bagia-bagian yang rusak
3) Mastoidektomi
b. Otitis Media Kronik Maligna
Otitis media kronik maligna timbul secara progresif dan berlangsung lebih cepat dimana dalam perjalanan penyakitnya tidak ada masa sembuh. Komplikasi yang serius sering terjadi apabila tidak mendapat pengobatan yang adekuat sehingga proses peradangan akan meuas dan keluhan akan bertambah

Ciri-ciri Khas Otitis Media Kronik Maligna :
1) Sifatnya yang progresif dan destruktif
2) Dalam perjalanan penyakitnya boleh dikatakan tidak ada masa sembuh walaupun tidak ada infeksi hidung atau faring
3) Biasanya disertai komplikasi yang ringan sampai berat seperti secret nanah, secret yang berbau busuk, labirintitis meningitis, kelumpuhan nervus fasialis, abses otak.
Dalam anamnesis keluhan penderita adalah:
1) Telinganya tidak pernah sembuh
2) Keluar nanah dari telinga terus-menerus dan berbau busuk
3) Pendengaran banyak berkurang
4) Pernah sakit di belakang telinga dan nyeri kepala yang berat
5) Pembengkakan di belakangtelinga
6) Mulut mencong dan sebagainya
Pada pemeriksaan didapatkan :
1) Sekret banyak dan berbau busuk
2) Ada kolesteatom, jaringan granulasi, polip, dan lain-lain
3) Perforasi “atic” atau marginal pada membaran timpani
4) Gangguan pendengaran derajat sedang sampai berat
5) Beberapa komplikasi seperti yang disebutkan di atas
Penatalaksanaan :
Umumnya dilakukan pembedahan yaitu mastoidektomi radikal. Bila ada komplikasi abses retroaurikuler dan penderita jauh dari rumah sakit, maka harus dilakukan insisi sementara untuk drainage.

c. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)
Infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Syamsuhidajat, 1997).

4. Patofisiologi
O M S K
Maligna Benigna
Degeneratif Metaplastik

1. Granulasi di liang telinga luar Tengah (di epitimpanum).
2. Terdapat perforasi pada marginal/atik. Terlihat kolesteatom pada telinga
3. Berasal dari dalam telinga tengah. Sekret berbentuk nanah dan
4. Polip Berbau khas (aroma kolesteatiom)

Otore = pus pada MAE
(kental/busuk)
Gangguan berkomunikasi Cemas
Pendengaran menurun

Perubahan persepsi / sensori

5. Pemeriksaan
a. Anamnesis
Keluhan utama dapat berupa :
1) Gangguan pendengaran/pekak.
Bila ada keluhan gangguan pendengaran, perlu ditanyakan :
a) Apakah keluhan tsb. pada satu telinga atau kedua telinga, timbul tiba-tiba atau bertambah secara bertahap dan sudah berapa lamanya.
b) Apakah ada riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma akustik atau pemekaian obat ototoksik sebelumnya.
c) Apakah sebelumnya pernah menderita penyakit infeksi virus seperti parotitis, influensa berat dan meningitis.
d) Apakah gangguan pendengaran ini diderita sejak bayi , atau pada tempat yang bising atau pada tenpat yang tenang.
2) Suara berdenging/berdengung (tinitus)
a) Keluhan telinga berbunyi dapat berupa suara berdengung atau berdenging yang dirasakan di kepala atau di telinga, pada satu sisi atau kedua telinga.
b) Apakah tinitus ini menyertai gangguan pendengaran.
3) Rasa pusing yang berputar (vertigo).
Dapat sebagai keluhan gangguan keseimbangan dan rasa ingin jatuh.
a) Apakah keluhan ini timbul pada posisi kepala tertentu dan berkurang bila pasien berbaring dan timbul lagi bila bangun dnegan gerakan cepat.
b) Apakah keluhan vertigo ini disertai mual, muntah, rasa penuh di telinga dan telinga berdenging yang mungkin kelainannya terdapat di labirin atau disertai keluhan neurologis seperti disentri, gangguan penglihatan yang mungkin letak kelainannya di sentral. Kadang-kadang keluhan vertigo akan timbul bila ada kekakuan pergerakan otot-oto leher. Penyakit DM, hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung, anemia, kanker, sifilis, dapat menimbulkan keluhan vertigo dan tinitus.
4) Rasa nyeri di dalam telinga (Otalgia)
a) Apakah pada telinga kiri/kanan dan sudah berapa lama.
b) Nyeri alihan ke telinga dapat berasal dari rasa nyeri gigi, sendi mulut, tonsil, atau tulang servikal karena telinga di sarafi oleh saraf sensoris yang berasal dari organ-organ tersebut.
5) Keluar cairan dari telinga (otore)
a) Apakah sekret keluar dari satu atau kedua telinga, disertai rasa sakit atau tidak dan sudah berapa lama.
b) Sekret yang sedikit biasanya berasal dari infeksi telinga luar dan sekret yang banyak dan bersifat mukoid umumnya berasal dari teklinga tengah. Bila berbau busuk menandakan adanya kolesteatom. Bila bercampur darah harus dicurigai adanya infeksi akut yang berat atau tumor. Bila cairan yang keluar seperti air jernih harus waspada adanya cairan liquor serebrospinal.

b. Tes audiometrik.
Merupakan pemeriksaan fungsi untuk mengetahui sensitivitas (mampu mendengar suara) dan perbedaan kata-kata (kemampuan membedakan bunyi kata-kata), dilaksanakan dnegan bantuan audiometrik.
Tujuan :
1) Menentukan apakah seseorang tidak mendengar.
2) Untuk mengetahui tingkatan kehilangan pendengaran.
3) Tingkat kemampuan menangkap pembicaraan.
4) Mengethaui sumber penyebab gangguan pada telinga media (gangguan konduktif) dari telinga tengah (sistem neurologi).
Pendengaran dapat didintifikasikan pada saat nol desibel naik sebelum seseorang mendengar suara frekuensi yang spesifik. Bunyi pada tik nol terdengar oleh orang yang pendengarannya normal. Sampai ke-20 db dianggap dalam tingakt normal.
6. Terapi OMSK
Tidak jarang memerlukan waktu lama serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain di sebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu :
a. Adanya perforasi membran timpani yang permanen sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar.
b. Terdapat sumber infeksi di laring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal.
c. Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid.
d. Gizi dan higiene yang kurang.
Prinsip terapi OMSK tipe maligna adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadi, bila terdapat OMSK tipe maligna maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan.
Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi (sederhana atau radikal).
Tujuan operasi ini untuk membuang semua jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi pendengaran tidak diperbaiki. Kerugian operasi ini adalah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur hidupnya. Pasien harus datang dengan teratur untuk kontrol supaya tidak terjadi infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali sehingga dapat menghambat pendidikan atau karier pasien.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga operasi serta membuat meatal-plasty yang lebar, sehingga rongga operasi kering permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus luar liang telinga menjadi lebar.
7. Tindakan Pembedahan
Timpanoplasti dengan pendekatan Ganda (Combined Approach Tympanoplasty)
Operasi ini merupakan teknik operasi timpanoplasti yang dikerjakan pada kasus OMSK tipe maligna atau OMSK tipe benigna dnegan jaringan granulasi yang luas. Tujuan opeasi ini untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik matoidektomi radikal (tampa meruntuhkan dinding posterior liang telinga.
Membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di kavum timpani di kerjakan melalui 2 jalan (combined approach) yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan timpanotomi posterior. Tehnik operasi ini pada OMSK tipe maligna belum disepakati oleh para ahli karena sering terjadi kambuhnya kolesteatoma kembali.

B. Asuhan Keperawatan
Fokus Pengkajian :
Data Subyektif :
Tanda-tanda dan gejala utama infeksi ekstrena dan media adalah neyeri serta hilangnya pendengaran. Data harus disertai pernyataan mengenai mulai serangan, lamanya, tingakt nyerinya. Rasa nyeri timbul karena adanya tekanan kepada kulit dinding saluran yang sangat sensitif dan kepada membran timpani oleh cairan getah radang yang terbentuk didalam telinga tengah. Saluran eksterna yang penuh dan cairan di telinga tengah mengganggu lewatnya gelombang suara, hal ini menyebabkan pendengaran berkurang.
Penderita dengan infeksi telinga perlu ditanya apakah ia mengerti tentang cara pencegahannya.
Data Obyektif :
Telinga eksterna dilihat apakah ada cairan yang keluar dan bila ada harus diterangkan. Palpasi pada telinga luar menimbulkan nyeri pada otitis eksterna dan media.
Pengkajian dari saluran luar dan gedang telinga (membran timpani). Gendang telinga sangat penting dalam pengkajian telinga, karena merupakan jendela untuk melihat proses penyakit pada telinga tengah. Membran timpani yang normal memperlihatkan warna yang sangat jelas, terlihat ke abu-abuan. Terletak pada membran atau terlihat batas-batasnya. Untuk visulaisasi telinga luar dan gendang telinga harus digunakan otoskop.
Bagian yang masuk ke telinga disebut speculum (corong) dan dengan ini gendang telinga dapat terlihat, untuk pengkajian yang lebih cermat perlu dipakai kaca pembesar. Otoskop dipakai oleh orang yang terlatih, termasuk para perawat.
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran.
Tujuan : Gangguan komunikasi berkurang / hilang.
Kriteria hasil :
a. Klien akan memakai alat bantu dengar (jika sesuai).
b. Menerima pesan melalui metoda pilihan (misal : komunikasi tulisan, bahasa lambang, berbicara dengan jelas pada telinga yang baik.
Intervensi Keperawatan :
1. Dapatkan apa metode komunikasi yang dinginkan dan catat pada rencana perawatan metode yang digunakan oleh staf dan klien, seperti :
a. Tulisan
b. Berbicara
c. Bahasa isyarat.
2. Kaji kemampuan untuk menerima pesan secara verbal.
a. Jika ia dapat mendegar pada satu telinga, berbicara dengan perlahan dan dengan jelas langsung ke telinga yang baik (hal ini lebih baik daripada berbicara dengan keras).
1) Tempatkan klien dengan telinga yang baik berhadapan dengan pintu.
2) Dekati klien dari sisi telinga yang baik.
b. Jika klien dapat membaca ucapan :
1) Lihat langsung pada klien dan bicaralah lambat dan jelas.
2) Hindari berdiri di depan cahaya karena dapat menyebabkan klien tidak dapat membaca bibi anda.
c. Perkecil distraksi yang dapat menghambat konsentrasi klien.
1) Minimalkan percakapan jika klien kelelahan atau gunakan komunikasi tertulis.
2) Tegaskan komunikasi penting dengan menuliskannya.
d. Jika ia hanya mampu bahasa isyarat, sediakan penerjemah. Alamatkan semua komunikasi pada klien, tidak kepada penerjemah. Jadi seolah-olah perawat sendiri yang langsung berbicara kepada klien dnegan mengabaikan keberadaan penerjemah.
3. Gunakan faktor-faktor yang meningkatkan pendengaran dan pemahaman.
a. Bicara dengan jelas, menghadap individu.
b. Ulangi jika klien tidak memahami seluruh isi pembicaraan.
c. Gunakan rabaan dan isyarat untuk meningkatkan komunikasi.
d. Validasi pemahaman individu dengan mengajukan pertanyaan yang memerlukan jawaban lebih dari ya dan tidak.
Rasional :
1. Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan oleh klien maka metode yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan klien.
2. Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat kepada klien dapat diterima dengan baik oleh klien.
3. Memungkinkan komunikasi dua arah anatara perawat dengan klien dapat berjalan dnegan baik dan klien dapat menerima pesan perawat secara tepat.

2. Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dnegan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran.
Tujuan : Persepsi / sensoris baik.
Kriteria hasil.
Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris pendengaran samapi pada tingkat fungsional.
Intervensi Keperawatan :
a. Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat.
b. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
c. Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
d. Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
Rasional :
a. Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian, pemakaian serta perawatannya yang tepat.
b. Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi.
c. Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah pendengaran rusak secara permanen.
d. Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan organisme sisa berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut.

3. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
a. Klien mampu mengungkapkan ketakutan/kekuatirannya.
b. Respon klien tampak tersenyum.
Intervensi Keperawatan :
a. Jujur kepada klien ketika mendiskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi.
b. Berikan informasi mengenai kelompok yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami klien untuk memberikan dukungan kepada klien.
c. Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien.
Rasional :
a. Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.
b. Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan, justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat.
c. Memungkinkan klien untuk memilih metode komunikasi yang paling tepat untuk kehidupannya sehari-hari disesuaikan dnegan tingkat keterampilannya sehingga dapat mengurangi rasa cemas dan frustasinya.
d. Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat membantu klien.
e. Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk berkomunikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Dunna, D.I. Et al. 1995. Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach 2 nd Edition : WB Sauders.
Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan
Rothrock, C. J. 2000. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI : Jakarta

November 23, 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)

A. PENGETIAN
Kurang Energi Protein (KEP) : keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi enegi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga memnuhi angka kebutuhan gizi (AKG). (Pudjiani “Kapita Selekta Kedokteran” edisi 3, Fakultas Kedokteran UI).
Malnutrisi Energi Protein : tidak adekuatnya intake potein dan kalori yang dibutuhkan oleh tubuh. (Sunadi, Skp. “Buku Pegangan Praktek Klinik”. Askep pada anak edisi 1).
B. PATOFISIOLOGI
 Penyakit malnutrisi dengan kekurangan energi protein atau tidak mncukupinya. Makanan bagi tubuh sering dengan marasmus dan kwashiorkor.
 Khashiorko adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan protein baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya. Kekurangan protein dalam makanan akan mengakibatkan kekurangan asam amino esensial dalam serum yang diperlukan untuk sintetis dan metabolisme terutama sebagai petumbuhan dan perbaikan sel, makin berkurangnya asam amino dalam serum menyebabkan berkurangnya produksi albumin oleh hati, kulit akan tampak bersisik dan kering karena depigmentasi. Anak dapat mengalami gangguan pada mata karena kekurangan vitamin A. kekurangan mineral khususnya besi, kalsium dan seng. Edema yang terjadi karena hipoproteinemia yang mana cairan akan berpindah dari intravaskuler kompatemen ke rongga interstisial yang kemudian menimbulkan asites. Gangguan gastrointestinal seperti adanya perlemakan pada hati dan atropi pada sel acini pancreas.
 Marasmus adalah suatu penyakit ang disebabkan kekurangan kalori dan protein. Pada marasmus ditandai dengan atropi jaringan, terutama lapisan sub kutan dan badan tampak kurus seperti orang tua. Pada marasmus metabolisme lemak kurang terganggu dari pada kwashiorkor, sehingga kekurangan vitamin biasanya minimal atau tidak ada pada marasmus tidak ditemukan edema akibat dari hipoalbuminemia dan atau retensi sodium. Pemenuhan kebutuhan dalam tubuh masih dapat dipenuhi dengan adanya cadangan protein sebagi sumber energi.
C. ETIOLOGI
• Kakurangan kalori
• Kekurangan protein




D. KOMPLIKASI
a. Kwashiorkor
- Diare
- Infeksi
- Anemia
- Gangguan tumbuh kembang
- Hipokalemi
- Hipernatremi
b. Marasmus
- Infeksi
- Tuberkolosis
- Parasitosis
- Disentri
- Malnutrisi kronik
- Gangguan tumbuh kembang
E. MANIFESTASI KLINIS
KWASHIORKOR
- Muka sembab
- Lathargi
- Edema
- Jaringan otot menyusut
- Jaringan sub kutan tipis dan lembut
- Warna rambut pirang atau seperti rambut jagung
- Kulit kering dan bersisik
- Alopecia
- Anorexia
- Gagal dalam tumbuh kembang
- Tampak anemia
MARASMUS
- Badan kurus kering
- Tampak seperti orang tua
- Lethargi
- Iritabel
- Kulit berkeriput
- Ubun-ubun cekung pada bayi
- Jaringan subkutan
- Turgor kulit jelek
- Malaise
- Apatis
- Kelaparan
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan laboratorium, albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit, Hb, Ht, transferin.


G. PENATALAKSANAAN TERAPEUTIK
- Diit Tinggi Kalori, Protein, Mineral dan Vitamin
- Pemberian terapi cairan dan elektrolit
- Penanganan diare bila ada, cairan, antidiare dan antibiotic.

H. PENATALAKSANAAN PERAWATAN
a. Pengkajian
- Riwayat status – social – ekonomi
- Kaji riwayat pola makan
- Pengkajian antropometri
- Kaji manifestasi klinis
- Monitor hasil laboratorium
- Timbang BB
- Kaji TTV
- Libatkan keluarga dalam perawatan anak untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
b. Diagnosa Keperawatan
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak adekuatnya intake nutrisi
- Kurang volume cairan tubuh dan kontipasi b.d kurangnya intake cairan
- Gangguan integritas kulit b.d asites
- Resiko infeksi b.d respon imun sekunder dan malnutrisi
- Kurangnya pengetahuan b.d kurang terpapar terhadap informasi
Perencanaan dan Intervensi
a. Meningkatkan pemenuhan kebutuhan status nutrisi
- Kaji pola makan
R / : Untuk mengetahui asupan nutrisi
- Berikan makanan TKTP
R / : Untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein tambahan
- Timbang BB setiap hari
R / : Untuk memantau status nutrisi
- Tingkatkan pemberian ASI dengan pemasukan intake nutrisi yang adekuat pada orang tua (ibu)
R / : dengan pemberian ASI dapat mengurangi kekebalan dan durasi penyakit
b. Meningkatkan hidrasi dan mencegah konstipasi
- Berikan cairan yang adekuat sesuai dengan kondisinya
R / : untuk mempertahankan kebutuhan cairan yang adekuat
- Berikan cairan atau nutrisi parenteral : pantau kepatenan infus
R / : Untuk mengetahui asupan nutrisi
- Ukur intake darah output : 2 – 3 ml/kg/jam
R / : Untuk mengevaluasi kecukupan masukan cairan
- Auskultasi bising usus
R / : inflamasi/iritasi usus dapat menyertai hiperaktivitas, penurunan absorbsi air dan diare

- Kaji tanda-tanda usus
R / : untuk mengetahui intake dan output
c. Meningkatkan integritas kulit
- Kaji kebutuhan kulit
R / : sebagai data dasar untuk intervensi selanjutnya
- Berikan alas matras yang lembut
R / : untuk mencegah atau mengurangi penekanan pada kulit
- Berikan cream kulit
R / : untuk melindungi kulit dari iritasi dan memberikan kelembabab pada kulit
- Ganti segera pakaian yang lembab dan basah
R / : pakaian yang lembab dan basah dapat menyebabkan iritasi .
- Lakukan kebersihan kulit
R / : untuk mengurangi mikroorganisme
- Hindari penggunaan sabun yang dapat mengiritasi kulit
R / : untuk melindungi kulit dari iritasi
d. Mencegah terjadinya infeksi
- Kaji tanda-tanda infeksi : ukur suhu tubuh setiap 4 jam
R / : untuk memasikan pengenalan dan pengobatan yang segera
- Gunakan standar pencegahan universal ; kebersihan, mencuci tangan bila akan kontak pada anak, menghindari dari aanak yang infeksi
R / : Untuk menurunkan kemungkinan penyebaran infeksi
- Berikan imunisasi bagi anak yang belum diimunisasi
R / : imunisasi dapat meningkatka kekebalan tubuh dan mencegah infeksi
e. Meningkatkan pengetahuan orang tua
- Ajar orang tua dalam pemenuhan nutrisi
R / : pengetahuan tentang hal malnutrisi dapat diketahui oleh keluarga
- Jelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat
R / : agar orang tua mengetahui intake nutrisi yang adekuat
- Jelaskan kondisi yang terkait dengan malnutrisi
R / : meningkatkan pemahamam keluarga tentang malnutrisi
- Ajarkan ibu mengkonsumsi nutrisi yang adekuat untuk meningkatkan produksi ASI
R / : ASI mengandung zat gizi yang tinggi
- Libatkan keluarga dalam perawatan anak untuk menemukan kebutuhan sehari-hari
R / : keluarga mengerti keadaan anak dan mengurangi kecemasan.






I. IMPLEMENTASI
Sesuai interensi
EVALUASI
a. anak akan memperlihatkan pemenuhan kebutuhan nutrisi secara adekuat yang ditandai dengan berat badan normal sesuai dengan usia, nafsu makan meningkat, dan tdak ditemukan manifestasi mainutrisi.
b. Anak tidak menunjukan tanda-tanda dehidrasi yang ditandai dengan ubun-ubun tidak, turgor kulit normal, membran mukosa lembab, out put urin sesuai.
c. Anak menunjukan keutuhan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tidak bersisik, tidak kering dan elastisitas kulit normal.
d. Anak akan terbebas dari infeksi.
e. Orang tua memahami pemenuhan kebutuhann nitrisi pada anak.

PENUTUP

KESIMPULAN
Kep adalah: keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kebutuhan gizi. Kep disebabkan karena kekurangan protein dan kalori.
Berdasarkan penyebab umum kep: dibagi atas dua yaitu: kwashiorkor dan marasmus

Table 55.1. Istilah dan Klarifikasi KEP
Tahun Jenis KEP Istilah dan klasifikasi Dasar diagnosis
< tahun 50-an tahun 50-an Tahun 60-an Tahun 70-an Berat Ringan-Berat Ringan-Berat Ringan-Berat Kwashiorkor, marasmus, atrofi, cachexia, dsb. Malnutrition: - (overmalnutrition) - undermainnutrition - ringan/sedang - berat (K-M-MK) Protein Calorie Malnutrition (PCM): - ringan/sedang - berat (K-M-MK) Protein energy malnutrition (PEM): -ringan/sedang. -berat (K-M-MK) - Klinik - Lab. (Albumin) Antropometrik = Gomez, 1956 Klinik/Lab./Antropomet = Scoring System Mc Laren, 1967 = Jelliffe, 1966 Klinik/Lab./Antropomet = welcome trust pai 1970 = nomogran Mc Laren 1975. Dikutip dari ilmu gizi klinis (Pudjiani S).3 Derajat malnutrition BB % terhadap st BB/U Derajat I Derajat II Derajat III 90-75 75-60 < 60 Dikutip dari ilmu gizi klinis (Pudjiani S).3 Derajat malnutrition BB % terhadap st. BB/TB Derajad I Derajat II Derajat III 80-90 70-80 < 70 Dikutip dari Ilmu Gizi Klinis (Pudjiani S).3 Table 55. 4 Klarifikasi Kep menurut the Wellcome trust party, 1970 Derajat malnutrition BB % terhadap st BB/U Ederma (-) Ederma (+) 80-60 undernutrition kwashiorkor < 60 marasmus marasmus-kwasiorkor Dikutip dari ilmu gizi klinis (Pudjiani S)3 Table 55.5 Scoring system menurut Mc Laren, 1967 Gejala klinik Skor Edema Dematosis Edema + dermatosis Hair chance Hepatomegali Serum albumin/total protein < 1, 00/<3,25 1,00-1,49/3,25-3,99 1,5-1,99/4,00-4,74 4,75-2,49/4,75-5,49 2,50-2,99/5,50-6,24 3,00-3,49/6,25-6,99 3,50-3,99/7,00-7,74 > 4,00/>7,75 3
2
6
1
1

7
6
5
4
3
2
1
0
Penilaian:
Skor 0-3 : Marasmus
Skor 4-8 : Marasmus-kwasiorkor
Skor 9-15 : kwashiorkor
Dikutip dari ilmu gizi klinis (Pudjiani S).3

Sediakan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental.
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, karenannya berikan :
• Kasih saying
• Lingkungan yang ceria
• Terapi bermain terstruktur selama 15-30 menit/hari
• Aktivitas fisik segera setelah sembuh
• Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain, dsb).
Siapkan follow up setelah sembuh
Bila berat anak sudah mencapai 80 % BB/U, dapat dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah setelah penderita dipulangkan.

Tunjukan kepada orang tua:
• Pemberian makan yang sering dan kandungan energi dan nutrient yang padat
• Terapi bermain terstruktur
Sarankan:
• Membawa anaknya kembali untuk kontroll secara teratur
• Pemberian suntikan/imunisasi ulang (booster)
• Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.
Selain itu atasi penyakit penyerta, yaitu:
1. defisiensi vitamin A, seperti koreksi defisiensi nutrient mikro
2. dermatosis
umumnya difisiensi Zn terdapat pada keadaan ini dan dermatosis membaik dengan pemberian suplementasi Zn. Selain itu:
• kompres bagian kulit yang terkena dengan KmnO (K-permanganat). 1 % selama 10 menit.
• Beri salep/krim (Zn dengan minyak kastor)
• Jaga daerah perineum agar tetap kering
3. parasit atau cacaing beri membendazol 100 mg oral, 2 x sehari selama 3 hari
4. diare melanjut
diare biasa menyertai dan berkurang dengan sendirinya pada pemberian makanan secara berhati-hati. Bila ada intelorasi laktosa (jarang). Obati hanya bila diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan formula bebas/rendah laktosa. Kerusakan mukosa usus dan giardiasis merupakan penyebab lain melanjutnya diare. Bila mungkin lakukan pemeriksaan tinja mikrosskopik. Beri metrodinazol 7,5 mg/kg BB setiap 8 jam selama 7 hari.
5. tuberculosis, obati sesuai pedoman TB
bila pasien pulang sebelum rehabilitasi tuntas (BB/U > 80 % atau BB/Tb > 90 %)., di rumah harus sering diberi makanan tinggi energi ( 150 kkal/kg BB/hari) dan tinggi protein ( 4 g/kgBB/hari)
• beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) paling sedikit 5 kali sehari
• beri makanan selingan diantara makanan utama
• upayakan makanan selalu dihabiskan
• beri suplementasi vitamin danmineral/elektorlit
• teruskanASi
kegagalan pengobatan tercermin pada:
1. tingginya angka kematian
bila mortalitas > 5 %, perhatikan apakah kematian terjadi pada:
• dalam 24 jam: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis terlambat atau tidak diatasi, atau proses dehidrasi kurang tepat
• dalam 72 jam: cek apakah volume formula terlalu banyakl atau pemilihan formula tidak tepat
• malam hari: kemungkinan hipotermia karena selimut kurang memadai, tidak diberi makan.
2. kenaikan berat badan tidak addekuat pada fase rehabilitasi
penilaian kenaikan BB:
• baik : > 10 g/kg BB/hari
• sedang : 5-10 g/kg BB/hari
• kurang : <5 g/kg BB/hari
kemungkinan kenaikan BB, antara lain:
• pemberian makanan tidak adekuat
• defisiensi nutrient tertentu: vitamin, mineral
• infeksi yang tidak terdektesi, sehingga tidaak diobati
• HIV/AIDS
• Masalah psikologik
Tindakan pada kegawatan
1. shock
sulit membedakan dehidrasi atau sepsis. Shock karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian cairan intravena. Pedoman pemberian cairan:
• berikan 15 ml/kg BB dalam 1 jam pertama cairan dektrosa 5 %: NaCL 0,9 % = 1:1 atau larutan ringer dengan dekstrosa 5 %. Evaluasi setelah 1 jam
• ulangi pemberian cairan seperti diatas, kemdian lanjutkandengan cairan per oral atau nasogastrik (resomal/penggantinya) sebanyak 10 ml/kg BB/jam sampai 10 jam.
• selanjutnya beri formula khusus
bila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian cairan pertama, anggap anak menderita sepsis,sehingga beri cairan rumat 4 ml/kg BB/jam. Berikan darah segar 10 ml/kg BB perlahan-lahan (selama 3 jam). Selanjutnya mulai berikan formula khusus
2. anemia berat
transfusi darah diberikan bila:
• Hb < 4 gram/dl
• Atau bila ada distress napas dan Hb 4-6 gram/dl
Beri transfuse darah berupa darah segar 10 ml/kg BB dalam tiga jam. Bila ada tanda gagal jantung gunakan packed red cells untuk transfuse dengan jumlah yang sama, beri furosemid 1 mg/kg BB, IV pada transfuse dimulai. Bila anak dengan distress pernapasan setelah transfuse HB tetap < dari 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl jangan ulangi pmberian darah.

ASKEP ANAK DENGAN ENCEPHALITIS

ASKEP ANAK DENGAN ENCEPHALITIS

I. Pengertian
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro organisme lain yang non purulent.

II. Patogenesis Ensefalitis
Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah masuk ke dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:
• Setempat:virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ tertentu.
• Penyebaran hematogen primer:virus masuk ke dalam darah
Kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.
• Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di
Permukaan selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.
Masa Prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremintas dan pucat .
Gejala lain berupa gelisah, iritabel, perubahan perilaku, gamgguan kesadaran, kejang.
Kadang-kadang disertai tanda Neurologis tokal berupa Afasia, Hemifaresis, Hemiplegia, Ataksia, Paralisis syaraf otak.

Penyebab Ensefalitis:
Penyebab terbanyak : adalah virus
Sering : - Herpes simplex
- Arbo virus
Jarang : - Entero virus
- Mumps
- Adeno virus
Post Infeksi : - Measles
- Influenza
- Varisella
Post Vaksinasi : - Pertusis
Ensefalitis supuratif akut :
Bakteri penyebab Esenfalitis adalah : Staphylococcusaureus,Streptokok,E.Coli,Mycobacterium dan T. Pallidum.

Ensefalitis virus:
Virus yang menimbulkan adalah virus R N A (Virus Parotitis) virus morbili,virus rabies,virus rubella,virus denque,virus polio,cockscakie A,B,Herpes Zoster,varisela,Herpes simpleks,variola.

Gejala-Gejala yang mungkin terjadi pada Ensefalitis :
- Panas badan meningkat ,photo fobi,sakit kepala ,muntah-muntah lethargy ,kadang disertai kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.
- Anak tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan penglihatan ,pendengaran ,bicara dan kejang.

III. PENGKAJIAN
1. Identitas
Ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.
2. Keluhan utama
Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.
3. Riwayat penyakit sekarang
Mula-mula anak rewel ,gelisah ,muntah-muntah ,panas badan meningkat kurang lebih 1-4 hari , sakit kepala.
4. Riwayat penyakit dahulu
Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung,telinga dan tenggorokan.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh : Herpes dll. Bakteri contoh : Staphylococcus Aureus,Streptococcus , E , Coli ,dll.
6. Imunisasi
Kapan terakhir diberi imunisasi DTP
Karena ensefalitis dapat terjadi post imunisasi pertusis.
- Pertumbuhan dan Perkembangan

IV. POLA-POLA FUNGSI KESEHATAN
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
a. Kebiasaan
sumber air yang dipergunakan dari PAM atau sumur ,kebiasaan buang air besar di WC,lingkungan penduduk yang berdesakan (daerah kumuh)
b. Status Ekonomi
Biasanya menyerang klien dengan status ekonomi rendah.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
a. Menyepelekan anak yang sakit ,tanpa pengobatan yang semPemenuhan Nutrisi
Biasanya klien dengan gizi kurang asupan makana dan cairan dalam jumlah kurang dari kebutuhan tubuh.,
b. Pada pasien dengan Ensefalitis biasanya ditandai
Dengan adanya mual, muntah, kepalah pusing, kelelahan.
.
c. Status Gizi yang berhubungan dengan keadaan tubuh.
Postur tubuh biasanya kurus ,rambut merah karena kekurangan vitamin A,berat badan kurang dari normal.
Menurutrumus dari BEHARMAN tahun 1992 ,umur 1 sampai 6 tahun
Umur (dalam tahun) x 2 + 8
Tinggi badan menurut BEHARMAN umur 4 sampai 2 x tinggi badan lahir.
Perkembangan badan biasanya kurang karena asupan makanan yang bergizi kurang.
Pengetahuan tentang nutrisi biasanya pada orang tua anak yang kurang pengetahuan tentang nutrisi.
Yang dikatakan gizi kurang bila berat badan kurang dari 70% berat badan normal.

3. Pola Eliminasi
a. Kebiasaan Defekasi sehari-hari
Biasanya pada pasien Ensefalitis karena pasien tidak dapat melakukan mobilisasi maka dapat terjadi obstipasi.
b. Kebiasaan Miksi sehari-hari
Biasanya pada pasien Ensefalitis kebiasaan mictie normal frekuensi normal.
Jika kebutuhan cairan terpenuhi.
Jika terjadi gangguan kebutuhan cairan maka produksi irine akan menurun ,konsentrasi urine pekat.

4. Pola tidur dan istirahat
Biasanya pola tidur dan istirahat pada pasien Ensefalitis biasanya tidak dapat dievaluasi karena pasien sering mengalami apatis sampai koma.

5. Pola Aktivitas
a Aktivitas sehari-hari : klien biasanya terjadi gangguan karena bx Ensefalitis dengan gizi buruk mengalami kelemahan.
b Kebutuhan gerak dan latihan : bila terjadi kelemahan maka latihan gerak dilakukan latihan positif.
Upaya pergerakan sendi : bila terjadi atropi otot pada px gizi buruk maka dilakukan latihan pasif sesuai ROM

Kekuatan otot berkurang karena px Ensefalitisdengan gizi buruk .
Kesulitan yang dihadapi bila terjadi komplikasi ke jantung ,ginjal ,mudah terkena infeksi ane
berat,aktifitas togosit turun ,Hb turun ,punurunan kadar albumin serum ,gangguan pertumbuhan.
6. Pola Hubungan Dengan Peran
Interaksi dengan keluarga / orang lain biasanya pada klien dengan Ensefalitis kurang karena kesadaran klien menurun mulai dari apatis sampai koma.
7. Pola Persepsi dan pola diri
Pada klien Ensenfalitis umur > 4 ,pada persepsi dan konsep diri
Yang meliputi Body Image ,seef Eslum ,identitas deffusion deper somalisasi belum bisa menunjukkan perubahan.
8. Pola sensori dan kuanitif
a. Sensori
- Daya penciuman - Daya rasa - Daya raba
- Daya penglihatan
- Daya pendengaran
9. Pola Reproduksi Seksual
Bila anak laki-laki apakah testis sudah turun ,fimosis tidak ada.
10. Pola penanggulangan Stress
Pada pasien Ensefalitis karena terjadi gangguan kesadaran :
- Stress fisiologi  biasanya anak hanya dapat mengeluarkan
air mata saja ,tidak bisa menangis dengan keras (rewel) karena terjadi afasia.
- Stress Psikologi tidak di evaluasi
11. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Anak umur 3-4 tahun belumbisa dikaji

PEMERIKSAAN LABORATORIUM / PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu membantu. Biasanya berwarna jernih ,jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfasit. Kadar protein kadang-kadang meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal.

Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktifitas lambat bilateral).Bila terdapat tanda klinis flokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau CT scan dapat dilakukan biopal otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis flokal, biopsy dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes Simplex.


DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING TERJADI
1. Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan terhadap infeksi turun.
2. Resiko tinggi perubahan peR/usi jaringan b/d Hepofalemia, anemia.
3. Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umu.
4. Nyeri b/d adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak menangis, gelisah.
5. Gangguan mobilitas b/d penurunan kekuatan otot yang ditandai dengan ROM terbatas.
6. Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah.
7. Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan susunan saraf pusat.
8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan sakit kepala mual.
9. Resiko gangguan integritas kulit b/d daya pertahanan tubuh terhadap infeksi turun.
10. Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.

DIAGNOSA KEPERAWATAN I.

Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan tubuh terhadap infeksi turun
Tujuan:
- tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil:
- Masa penyembuhan tepat waktu tanpa bukti penyebaran infeksi
endogen

Intervensi
1. Pertahanan teknik aseptic dan teknik cuci tangan yang tepat baik petugas atau pengunmjung. Pantau dan batasi pengunjung.
R/. menurunkan resiko px terkena infeksi sekunder . mengontrol penyebaran Sumber infeksi, mencegah pemajaran pada individu yang mengalami nfeksi saluran nafas atas.
2. Abs. suhu secara teratur dan tanda-tanda klinis dari infeksi.
R/. Deteksi dini tanda-tanda infeksi merupakan indikasi perkembangan
Meningkosamia .
3. Berikan antibiotika sesuai indikasi
R/. Obat yang dipilih tergantung tipe infeksi dan sensitivitas individu.

DIAGNOSA KEPERAWATAN II

Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umum
Tujuan :
- Tidak terjadi trauma

Kriteria hasil :
- Tidak mengalami kejang / penyerta cedera lain

Intervensi :
1. Berikan pengamanan pada pasien dengan memberi bantalan,penghalang tempat tidur tetapn terpasang dan berikan pengganjal pada mulut, jalan nafas tetap bebas.
R/. Melindungi px jika terjadi kejang , pengganjal mulut agak lidah tidak
Tergigit.
Catatan: memasukkan pengganjal mulut hanya saat mulut relaksasi.
2. Pertahankan tirah baring dalam fase akut.
R/. Menurunkan resiko terjatuh / trauma saat terjadi vertigo.
3. Kolaborasi.
Berikan obat sesuai indikasi seperti delantin, valum dsb.
R/. Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang.
4. Abservasi tanda-tanda vital
R/. Deteksi diri terjadi kejang agak dapat dilakukan tindakan lanjutan.

DIAGNOSA KEPERAWATAN III

Resiko terjadi kontraktur b/d kejang spastik berulang

Tujuan :
- Tidak terjadi kontraktur
Ktiteria hasil :
- Tidak terjadi kekakuan sendi
- Dapat menggerakkan anggota tubuh

Intervensi

1. Berikan penjelasan pada ibu klien tentang penyebab terjadinya spastik ,
Terjadi kekacauan sendi.
R/ . Dengan diberi penjelasan diharapkan keluarga mengerti dan mau
Membantu program perawatan .
2. Lakukan latihan pasif mulai ujung ruas jari secara bertahap
R/ Melatih melemaskan otot-otot, mencegah kontraktor
3. Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam
R/ Dengan melakukan perubahan posisi diharapkan peR/usi ke
Jaringan lancar, meningkatkan daya pertahanan tubuh .
4. Observasi gejala kaerdinal setiap 3 jam
R/ Dengan melakukan observasi dapat melakukan deteksi dini bila
Ada kelainan dapat dilakukan inteR/ensi segera
5. Kolaborasi untuk pemberian pengobatan spastik dilantin / valium sesuai
Indikasi
R/ Diberi dilantin / valium ,bila terjadi kejang spastik ulang

DAFTAR PUSTAKA

Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi,
Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya, 1998
Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
1997.
Rahman M, Petunjuk Tentang Penyakit, Pemeriksaan Fisik dan
Laboratorium, Kelompok Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran
Salemba, Jakarta, 1986.
Sacharian, Rosa M, Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta ,1993.
Sutjinigsih (1995), Tumbuh kembang Anak, Penerbit EGC, Jakarta.


PATO FISIOLOGI ENSEFALISTIS
Virus / Bakteri


Mengenai CNS


Insevalitis



Tik Kejaringan Susu Non Saraf Pusat Panas/Sakit kepala


Muntah- muntah Kerusakan- kerusakan susunan Rasa Nyaman
Mual Saraf Pusat


BB Turun
- Gangguan Penglihatan Kejang Spastik
- Gangguan Bicara
Nutrisi Kurang - Gangguan Pendengaran Resiko Cedera
- Kekemahan Gerak Resiko Contuaktur


- Gangguan Sensorik
Motorik

PATO FISIOLOGI GIZI KURANG
Asupan Makanan Kurang


Defisiensi Protein Energi ( EDP ) Defisiensi Vitamin A




gangguan Penurunan keadaan aktivitas Hb sintensis ennim
pertumbuhan albumin fagosit


BB rendah oediem/asites Daya tahan thd anemia ganguan Pencernaan
Infeksi dan metabolisme
Gangguan
Pengankutan O2
Nutrisi gangguan integritas mudah infeksi gangguan nutrisi
Kurang kulit /terkena infeksi

GANGGUAN BICARA (DELAYED SPEECH)

GANGGUAN BICARA (DELAYED SPEECH)

Perkembangan ucapan serta bahasa yang didapat diperlihatkan oleh seorang anak. Perkembangan bicara dan berbahasa merupakan petunjuk dini yang lazim untuk mengetahui ada atau tidak adanya disfungsi serebral atau gangguan neurologik ringan, yang kelak dapat mengakibatkan kesulitan-kesulitan tingkah laku dan kemampuan belajar. Bahasa dapat di rumuskan sebagai pengetahuan tentang sistim lambang yang dipergunakan dalam komunikaasi yang dilakukan secaara lisan (Nelson, 1994). Ucapan atau bicara adalah memperlihatkan pengetahuan tersebut dalam suatu tingkah kalu yang dapat didengar (Nellson, 1994).
Bahasa dapat dipandang secara dasar diatas mana kemudian di bangun kemampuan bicara tersebuut, yang mana keduanya akan berkembang dalam progresi yang beraturan. Bahasa berhubungan errat dengan kemampuan kognitif. Kemempuan bahasa dapat diperlihatkan dengan berbagai cara :
Dengan cara bagaimana anak terrsebut memberikan respon atas petunjuk-petunjuk lisan yang diberikan kepadanya, dengan gerrakan-gerakan yang diperlihatkan oleh anak yang bersangkutan untuk mengkomunikasikan kebuutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan serta pengetahuan tentang lingkungan yang berrada di sekelilingnya serta memulai permainan kreatif dan imajinatif yang di perlihatkan oleh anak itu (Nelson, 1994).
Kemampuan berbahasa merupakan indfikator seluruh perkembangan anak, emosi dan linkungannya.
Menurut NCHS berdasar atas laporan orang tua atas diperkirakan gangguan cicara dan bahasa pada anak sekitar 4-5% (diluar gangguan pendengaran serta celah pelatum). Deteksi dini perlu ditegakkan, agar penyebabnya dapat segera dicari, sehingga pengobatan serta pengobatannya dapat dilakukan seawal mungkin.

Bagan Kemampuan Bicara.

Otak bagian hemister
kiri untuk berbahasa


















POHON MASALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ARTERIAL SEPTAL DEFECT (ASD)

ARTERIAL SEPTAL DEFECT (ASD

A. Pengertian
Artherial Septal Defect (ASD) merupakan kelainan jantung bawaan akibat adanya lubang pada septum interartrial yang menyebabkan darah dari atrium kiri yang bertekanan tinggi mengalir kedalam atrium kanan yang bertekanan rendah.
Berdasarkan letak defek dikenal 3 jenis ASD yaitu :
1. Defek sinus venosus / defek vena cava superior.
Letak defek diatas fosa ovalis, tidak mempunyai tepi yang jelas dan biasanya disertai dengan vena pulmonalis yang bermuara rendah di vena cava superior.
2. Defek fosa ovalis/ASD II (ASD sekundum).
Letak defek di fosa ovalis atau terbuka dekat pusat septum.
3. Defek atrioventrikular/ASD I (ASD primum).
Biasanya disertai dengan kelainan katup atrioventrikular. Terdapat bermacam-macam tergantung pada saat timbulnya gangguan yakni :
 ECD derajat I.
Pada gangguan ringan embryonal endocardial cushion, letak ASD rendah katup mitral terbelah.
 ECD derajat II.
Pada gangguan berat, letak ASD rendah dan katup mitral terbelah, katup tricuspid terbelah.
 ECD derajat III.
Pada gangguan yang menyeluruh, letak ASD rendah, katub-katub mitral dan atau tricuspid terbelah dan letak Defect Septum Ventrikel VSD) tinggi.




B. Etiologi.
Penyakit defek jantung kongenital terjadi akibat beberapa faktor antara lain :
a. Genetik.
b. Faktor lingkungan.
Ibu yang mendapat virus rubela pada usia kehamilan 8 minggu pertama.
c. Teratogen.
Penggunaan obat-obat tertentu (seperti wasfarin, trimethadone, hydantoin alkohol) melalui ibu selama gestasi yang mana menunjukkan penyebabnya bukan hanya malformasi cardiac tetapi juga luasnya injury embrio.

C. Pathofisiologi.
Efek hemodinamik pada ASD yang tidak dapat diperbaiki tergantung pada ukuran dan arah shunt, komplien ventrikel dan respon adaptif pada pembuluh darah kecil pulmonal untuk meningkatkan aliran darah. Setelah lahir, karena PVR  (Pulmonary Vaskuler Resistance) dan komplien yang hampir sama antara ventrikel kiri dan kanan, maka terdapat shunt kecil pada livel atrium. Akan tetapi dengan bertambahnya umur, turunnya PVR, RV menjadi kurang resistent dan resisten sistemik meningkat, mengakibatkan terjadinya shunt dari kiri ke kanan.
Peningkatan volume ini membebani RV dan meningkatkan aliran darah pulmonal yang secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Akan tetapi, persisten elevasi pada PVR dapat mengarah secara berangsur-angsur/shunt berbalik cyanosis (Eisenmenger Syndrome) dan gagal jantung.










Pathway.































 Defek Septum Atrium Sekundum.
Karena tekanan di atrium kiri lebih tinggi daripada tekanan di atrium kanan, maka pada defek septum atrium terjadi pirau kiri ke kanan, meskipun pada pemeriksaan ekokardiografi-dopler serta angiografi dapat dibuktikan adanya sedikit pirau kanan ke kiri. Akibatnya terjadilah beban volume di atrium kanan, ventrikel kanan dan atrium pulmonalis. Ketiga struktur ini akan mengalami dilatasi. Derajat dilatasi dipengaruhi oleh besarnya defek serta perbedaan antara tahanan sistemik dan tahanan paru.
Karena beban tekanan pada defek septum atrium sekundum tidak begitu berat, maka kelainan vaskuler paru tidak terjadi secepat pada kelainan jantung bawaan dengan beban tekanan yang berlebihan seperti pada VSD dan PDA. Pada ASD kelainan vaskular paru, biasanya terjadi pada dekade ketiga, tetapi bila terjadi biasanya bersifat progresif.
 Defek Septum Atrium Primum.
Pada dasarnya kelainan hemodinamik defek septum primum ini sama dengan defek septum atrium sekundum, ialah terdapatnya pirau kiri ke kanan setinggi atrium. Disamping itu, sering terdapat pula insufisiensi mitral dengan pelbagai derajat akibat terdapatnya celah pada daun mitral. Letak anatomis defek septum atrium dan celah katup mitral adalah sedemikian sehingga akan terjadi aliran darah dari ventrikel kiri ke kanan.
 Defek atrioventrikularis komplet.
Terdapat defek septum atrium, defek septum ventrikel serta kelainan katup atrioventrikuler memungkinkan terjadinya pirau antara ke-4 ruang jantung. Pada bayi dan anak kecil, biasanya masih terjadi pirau kiri ke kanan sehingga kelainan hemodinamiknya sama dengan kelainan hemodinamik pada ASD + VSD.
Gb. A





Gb. B








Gb. C








Gb. D








D. Manifestasi Klinik.
Secara umum manifestasi klinik yang muncul pada anak dengan ASD :
 Pasien mungkin asymptomatik.
 Terdapat karakteristik murmur.
 Resiko terhadap dysrhythmias atrial.
 Penyakit obstruksi pembuluh darah pulmonar.
 Pembentukan emboli dari kronik, meningkatnya aliran darah pulmonal.
 Defek Septum Atrium Sekundum.
 Asimptomatik.
 Ditemukan bising jantung.
 Infeksi saluran napas berulang.
 Deformitas dada  defek yang sangat besar.
 Pada auskultasi :
 Bunyi jantung I  (N).
 Bunyi jantung II  split lebar dan menetap.
 Defek Septum Atrium Primum.
 Hampir sama dengan defek septum atrium sekundum.
 Pada pemfisis terlihat aktivitas ventrikel kanan yang meningkat.
 Pada auskultasi.
 Bunyi jantung I  (N) (sedikit mengeras).
 Bunyi jantung II  split lebar dan menetap.
 Bising sistolik ejeksi di tepi kiri atas sternum.
 Defek Atrioventrikulans Komplet.
 Bayi mengalami kesulitan minum.
 Bernapas cepat.
 BB naik.
 Sianosis seringkali hanya ringan bahkan sulit dilihat.
 Tanda gagal jantung  beberapa bulan pertama.
 Pada pemfis :
 Bayi kurus dan distress dengan sianosis ringan.
 Nadi teraba (N)/sedikit meningkat.
 LV dan RV tampak hiperaktif.
 Pada auskultasi :
 Bunyi jantung II  mengeras dengan split sempit.
 Bising sulit didengar.


E. Komplikasi.
 Endocarditis.
 Cardiac dysrhythmias.
 Gagal jantung kongestif.
 Reaksi Eisenmenger (untuk pasien sianosis).

F. Studi Diagnostik dan Penemuannya
No Study Diagnostik Penemuan
1. EGC Normal ; RVH, RBBB, interval PR mungkin memanjang, defiasi sumbu QRS ke kiri (ostium primum), normal atau aksis ke kanan (ostium sekundum)
2. x-ray dada Pembesaran RA, RV, PA, peningkatan vaskular pulmonal ; LA, LV dan knob aortik mungkin menjadi kecil.
3. Echocardiogram Pada ostium sekundum, pembesaran RV, pergerakan paradonik septum selama sistole, pada ostium primum katup mitral berpindah ke anterior dan inferior.
4. Test Lab Tidak ada penemuan spesifik
5. Katerisasi jantung Shunt kiri ke kanan, peningkatan saturasi O2 pada RA, tekanan RA biasanyaa normal, regugitasi mitral

G. Manajemen Medik
Secara umum pada pasien ASD manajemen medik dapat dilakukan dengan 2 cara yakni :
 Melalui pembedahan.
Pembedahan Dacton.
 Non Pembedahan.
ASD 2 kemungkinan ditutup dengan menggunakan alat selama kateterisasi jantung. Teknik ini digunakan di beberapa klinik pusat.
 Defek Septum Atrium Sekundum.
Tindakan koreksi bedah dapat dilakukan setiap saat setelah diagnosis ditegakkan, tetapi biasanya dilaksanakan pada usia sekolah dini. Bila dilakukan kateterisasi, pada defek kecil dengan rasio aliran (flow ratio)  1,2 dan rasio tahanan (resistance rate)  0,7 operasi dapat ditangguhkan. Tetapi karena kateterisasi jantung tidak dilakukan pada sebagian besar kasus ASD maka kriteria tersebut jarang dipakai lagi. Hasil operasi pada ASD tanpa komplikasi adalah sangat baik (mortalitas  0,5%) dan pasien dapat diharapkan hidup normal.
 Defek Septum Atrium Primum.
Tindakan pembedahan pada penderita yang asimptomatik dianjurkan untuk dilaksanakan lebih dini daripada defek sekundum, yaitu antara umur 2-3 tahun. Biasanya operasi lebih sulit karena adanya celah pada katup mitral, namun secara keseluruhan hasilnya baik dengan atau tanpa sisa insufisiensi mitral.
 Defek Atrioventrikulens Komplet.
 Terapi medik terutama ditujukan untuk mengontrol gagal jantung.
 Terapi dengan digoksin, furosemide dengan atau tanpa spironolakton dengan pemantauan elektrolit berkala masih merupakan terapi standar gagal jantung pada bayi dan anak.
 Pada operasi dilakukan penutupan ASD dan ventrikel dengan patch sedangkan katup mitral dan trikuspid dipisahkan dan diperbaiki.
 Defek Fosa Ovalis.
Hipertensi pulmonal sebagai komplikasi timbulnya lambat walaupun demikian operasi dianjurkan dibawah umur 10 tahun.
Defek fosa ovalis tanpa komplikasi dapat ditutup dengan cara hipotermia.
Defek fosa ovalis/atrioventrikuler dengan komplikasi ditutup dengan bantuan mesin jantung paru.





ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian.
 Pada pasien dengan ASD biasanya asimptomatik, shunt kecil, shunt dari sedang ke berat, dyspnea external, penurunan toleransi latihan, palpitasi.
 Pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi.
 Parastemal kiri terangkat.
 Anak bertubuh kurus dengan jari kaki dan tangannya panjang.
 Pada dahi agak menonjol akibat dari pembesaran ventrikel kanan.
b. Auskultasi.
Systolik murmur terdengar halus pada ICS kedua pada LSB.
c. Pengukuran TTV.
 Suhu biasanya normal.
 Nadi meningkat.
 TD meningkat.
 BB menurun.

2. Diagnosa Keperawatan.
No Diagnosa Keperawatan DS DO
1 Penurunan CO b.d faktor mekanikal (preload dan afterload) - Tachycardia, sianosis, bunyi jantung, murmur
2 Gangguan perfusi jaringan b.d tidak adekuatnya cardiak output. Anak mudah lelah Cyanosis, dyspnea, bunyi napas rales, Wheezing
3 Potensial intoleransi : aktivitas b.d immobilisasi pengembalian jantung secara progresif Anak mengeluh letih, lemah, tidak mampu melakukan aktivitas atau ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas hidup harian. Respon abnormal terhadap latihan HR , BP ,  toleransi external, dyspnea, pe  cyanosis selama aktivitas diziness.
4 Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi pasien yang abnormal. Anak mengeluh napas sesak (SOB) Tachypnea, cyanosis
5 Koping individu dan keluarga inefektif b.d (1). Inadekuat atau ketidakmampuan mengenai diagnosis klinik (2). Perubahan gaya hidup dan aturan akibat proses penyakit. Keluarga/individu mengatakan takut, cemas atau marah, mengatakan informasi yang tidak benar tentang diagnosis klinik.  Argumentasi pasien melebihi berbagai aspek pada uraian tentang perawatan.
 Keluarga overprotektif
6 Cemas b,d pengobatan terhadap integritas/keutuhan biologi Keluarga mengatakan takut, merasa cemas, pertanyaan berulang-ulang, melaporkan merasa terasing, mengatakan sesuatu yang tidak tentu di masa mendatang.  Tidak bisa istirahat
 Wajah tegang
 Tachycardia
 Tidak bisa tidur
 Komplien somatik

3. Perencanaan.
Diagnosa I.
Goal : Klien akan meningkatkan CO selama dalam perawatan.
Objektif : Dalam jangka waktu 2 jam : nadi normal (60-100 x/mnt, anak (-) sianosis, bunyi jantung normal.
Intervensi dan rasional :
 Kaji tanda-tanda vital.
R/ Sebagai data untuk mendeteksi lebih dini terhadap tanda-tanda ASD.
 Auskultasi bunyi paru.
R/ Sebagai data dasar untuk mengkaji adanya kelemahan bunyi paru.
 Tempatkana pasien pada posisi Fowler.
R/ Meninggikan kepala dapat mengurangi tekanan pada diafragma serta mempermudah bernapas.
 Ukur intake dan output.
R/ Balance cairan perlu dikontrol untuk mengetahui adekuatnya perfusi renal.
 Beri O2 sesuai order.
R/ Hipoksemia dihubungkan dengan peningkatan ventilasi pada paru sekunder terhadap peningkatan cairan karena workload pada jantung.
 Bedrest selama fase akut.
R/ Untuk mengurangi kebutuhan metabolik selama istirahat dan mengurangi kerja jantung.
Diagnosa 2.
Goal : Klien akan mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat selama dalam perawatan.
Objektif : Dalam jangka waktu ½ -1 jam anak tidak siansis, dispnea, bunyi jantung (N).
Intervensi :
 Kaji warna, temperatur, turgor kulit serta kapiler refill.
R/ Sianosis, kulit lembab serta pengisian kapiler yang lambat menandakan adanya perfusi jaringan yang kurang baik.
 Berikan perawatan kulit.
R/ Untuk menjaga kerusakan dan infeksi pada kulit.
 Tinggikan kaki 200 dari tempat tidur.
R/ Untuk meningkatkan aliran darah balik ke otak.
 Anjurkan keluarga untuk melaporkan tanda dan gejala perubahan mental.
R/ Untuk mengkaji/menentukan gangguan kesadaran akibat perfusi ke daerah otak yang kurang.
Diagnosa 3.
Goal : Klien akan meningkatkan toleransi terhadap aktivitas selama dalam perawatan.
Objektif : Dalam jangka waktu 1-2 jam anak tidak letih, tidak lemah, HR, BP normal, tidak dyspnea dan tidak cyanosis.
Intervensi dan rasional :
 Kaji tingkat aktivitas.
R/ Untuk menentukan tingkat ketergantungan anak terhadap orang tua dan perawat.
 Kaji dan monitor respons terhadap aktivitas tanpa tipe aktivitas, intensitas, frekuensi dan tipe gejala yang berkembang.
R/ Untuk menentukan alasan terhadap tanda intoleransi aktivitas.
 Bantu anak untuk melakukan aktivitas.
R/ Untuk mengurangi ketergantungan anak terhadap orang tua dan perawat
 Siapkan peralatan dan lakukan pola bermain.
R/ Untuk mengurangi tingkat kejenuhan anak selama perawatan.
Diagnosa 4.
Goal : Klien akan mempertahankan pertukaran gas yang normal selam dalam perawatan.
Objektif : Dalam jangka waktu 1-2 jam : anak tidak mengeluh sesak napas, tidak SB, napas 60 x/mnt, tidak sianosis.
Intervensi :
 Kaji setiap hari terhadap tanda gangguan pertukaran gas.
R/ Untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan ventrikuler pada pulmonal.
Diagnosa 5.
Goal : Klien dan keluarga akan mempertahankan koping yang efektif selama dalam perawatan.
Objektif : Dalam jangka waktu 1x24 jam : Keluarga/individu tidak takut, cemas/marah, mengatakan informasi yang benar, perlindungan yang sesuai.
Intervensi dan rasional :
 Kaji persepsi pasien/keluarga pada kondisi ini. Identifikasi beberapa miskonsepsi berhubungan dengan kesalahan, ketakutan atau kepantasan overprotektif.
R/ Emosi yang miskin sering terlihat pada orang dewasa dengan CHD yang b. d kecemasan parenteral daripada tingkat beratnya penyakit.
 Tentukan tingkat emosional dan stress financial keluarga sesuai kondisi pasien.
R/ Issu yang okupasi dan dapat dijamin sering dikemukakan oleh pasien dan mempunyai sumber yang konstan pada ketegangan keluarga.
 Berikan kesempatan untuk pertemuan keluarga.
R/ Diskusi dalam kelompok yang mana dapat mendorong diskusi secara terbuka untuk mengurangi ketakutan dan membantu mengklarifikasikan miskonsepsi.
Diagnosa 6.
Goal : Klien akan menurunkan tingkat kecemasan selama dalam perawatan.
Objektif : Dalam jangka waktu 1-2 jam ; nadi 60-100 x/mnt, anak tenang, tidak takut, bisa istirahat dan tidur, tidak merasa terasing.
Intervensi dan rasional :
 Kaji tingkat kecemasan dan penyebab utama dari cemas.
R/ Untuk memberikan informasi tentang harapan orang tua akan kondisi yang dialami anaknya.
 Kaji mekanisme koping yang bisa digunakan terhadap stress.
R/ Untuk mempermudah perawat dalam mengontrol tingkat kecemasan.
 Kaji perilaku orang tua yang mengalami kecemasan serta berikan metode alternatif untuk mengurangi kecemasan.
R/ Untuk menjelaskan kecemasan dan stress terhadap CV, serta metode alternatif dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan.

4. Implementasi
Sesuai dengan intervensi.

5. Evaluasi
 CO , nadi (N) 60-100 x/mnt, sianosis (-), bunyi jantung (N).
 Anak tidak lelah, tidak dyspnea, napas 16-20 x/mnt.
 Anak mampu melakukan aktivitas sendiri, HR , BP .
 Keluarga/individu tidak merasa takut dan cemas, bisa istirahat dan tidur 6-8 jam sehari.
6. Pendidikan Kesehatan
 Berikan pasien dan keluarga penjelasan tentang defek primer (tanda dan gejala) dan jelaskan tentang tindakan pembedahan.
 Jelaskan diet harian sesuai petunjuk.
 Jelaskan pentingnya mencegah endocarditis
 Jelaskan pentingnya pemeriksaan lanjutan secara periodik.
 Jelaskan kepada keluarga pasien tentang pengertian, tanda dan gejala serta pengobatan pada ASD.

PENUTUP

A. Kesimpulan
ASD merupakan kelainan jantung bawaan akibat adanya lubang pada septum interatrial yang menyebabkan darah dari atrium kiri yang bertekanan tinggi mengalir ke dalam atrium kanan yang bertekanan rendah. ASD terdiri dari ASD I, ASD II dan sinus venous defek. ASD disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan dan teratogenik. Pada pasien ASD apabila tidak segera diatasi, maka akan menimbulkan akibat yang fatal.
Adapun komplikasi yang timbul pada pasien ASD itu adalah cardiac disritmia, reaksio Eisenmenger dan yang lebih fatal adalah gagal jantung. Oleh karena itu dilakukan manajemen medis baik melalui pembedahan dan non pembedahan.
Biasanya penyakit ini sangat jarang dijumpai di masyarakat karena angka perbandingan yang sangat rendah kalau dibandingkan dengan penyakit jantung lainnya.

B. Saran
1. Bagi masyarakat, apabila terdapat tanda-tanda dan gejala ASD pada anak segera konsultasi kepada petugas kesehatan sehingga masalah bisa diatasi secara cepat.
2. Bagi perawat, hendaknya harus mengetahui tentang penyakit ASD sehingga dapat memberikan askep secara baik dan mencapai hasil yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

A. H. Markum, 1991, “Ilmu Kesehatan Anak”, (Jilid I), Jakarta : FKUI

Cannobio. M, 1990, “Cardiovaskuler Disorders”, St. Louis Mosby Year Book.

Elisabeth J. C, 1997, “Patofisiologi (Buku Saku)”, Jakarta EGC Kedokteran

Staff Pengajar IKA, FKUI, 1985, “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Infomedika.

Whalye dan Wongs, 2995, “Nursing Care of Infants and Children”, (5 th) St. Louis Missouri Mosby Year Book.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MENINGITIS

ASUHAN KEPERAWATAN MENINGITIS

Defenisi
Meningitis adalah radang dari selaput otak (arachnoid dan piamater). Bakteri dan virus merupakan penyebab utama dari meningitis.

Patofisiologi

Otak dilapisi oleh tiga lapisan, yaitu : duramater, arachnoid, dan piamater. Cairan otak dihasilkan di dalam pleksus choroid ventrikel bergerak / mengalir melalui sub arachnoid dalam sistem ventrikuler dan seluruh otak dan sumsum tulang belakang, direabsorbsi melalui villi arachnoid yang berstruktur seperti jari-jari di dalam lapisan subarachnoid.
Organisme (virus / bakteri) yang dapat menyebabkan meningitis, memasuki cairan otak melaui aliran darah di dalam pembuluh darah otak. Cairan hidung (sekret hidung) atau sekret telinga yang disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena hubungan langsung antara cairan otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang masuk dapat berjalan ke cairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme yang patologis merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak dan ventrikel. Eksudat yang dibentuk akan menyebar, baik ke kranial maupun ke saraf spinal yang dapat menyebabkan kemunduran neurologis selanjutnya, dan eksudat ini dapat menyebabkan sumbatan aliran normal cairan otak dan dapat menyebabkan hydrocephalus.

Etiologi

Meningitis disebabkan oleh berbagai macam organisme, tetapi kebanyakan pasien dengan meningitis mempunyai faktor predisposisi seperti fraktur tulang tengkorak, infeksi, operasi otak atau sum-sum tulang belakang. Seperti disebutkan diatas bahwa meningitis itu disebabkan oleh virus dan bakteri, maka meningitis dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : meningitis purulenta dan meningitis serosa.



Meningitis Bakteri

Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah haemofilus influenza, Nersseria,Diplokokus pnemonia, Sterptokokus group A, Stapilokokus Aurens, Eschericia colli, Klebsiela dan Pseudomonas. Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit. Cairan eksudat yang terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di ruangan subarahcnoid ini akan terkumpul di dalam cairan otak sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis menjadi tebal. Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan intrakranial. Hal ini akan menyebabkan jaringan otak akan mengalami infark.

Meningitis Virus

Tipe dari meningitis ini sering disebut aseptik meningitis. Ini biasanya disebabkan oleh berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti; gondok, herpez simplek dan herpez zoster. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh koteks cerebri dan lapisan otak. Mekanisme atau respon dari jaringan otak terhadap virus bervariasi tergantung pada jenis sel yang terlibat.

Pencegahan
Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor presdis posisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang.
Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk mengidentifikasi faktor atau janis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius.




Pengkajian Pasien dengan meningitis
Riwayat penyakit dan pengobatan
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Setelah itu yang perlu diketahui adalah status kesehatan masa lalu untuk mengetahui adanya faktor presdiposisi seperti infeksi saluran napas, atau fraktur tulang tengkorak, dll.

Manifestasi Klinik
• Pada awal penyakit, kelelahan, perubahan daya mengingat, perubahan tingkah laku.
• Sesuai dengan cepatnya perjalanan penyakit pasien menjadi stupor.
• Sakit kepala
• Sakit-sakit pada otot-otot
• Reaksi pupil terhadap cahaya. Photofobia apabila cahaya diarahkan pada mata pasien
• Adanya disfungsi pada saraf III, IV, dan VI
• Pergerakan motorik pada masa awal penyakit biasanya normal dan pada tahap lanjutan bisa terjadi hemiparese, hemiplegia, dan penurunan tonus otot.
• Refleks Brudzinski dan refleks Kernig (+) pada bakterial meningitis dan tidak terdapat pada virus meningitis.
• Nausea
• Vomiting
• Demam
• Takikardia
• Kejang yang bisa disebabkan oleh iritasi dari korteks cerebri atau hiponatremia
• Pasien merasa takut dan cemas.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak. Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa.
Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat diatas nilai normal.
Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.
Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.

Pemeriksaan Radiografi
CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah.

Pengobatan
Pengobatab biasanya diberikan antibiotik yang paling sesuai.
Untuk setiap mikroorganisme penyebab meningitis :
Antibiotik Organisme
Penicilin G




Gentamicyn



Chlorampenikol Pneumoccocci
Meningoccocci
Streptoccocci


Klebsiella
Pseudomonas
Proleus

Haemofilus Influenza Terapi TBC
• Streptomicyn
• INH
• PAS Micobacterium Tuber culosis

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah :

Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan
• Pasien kembali pada,keadaan status neurologis sebelum sakit
• Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris

Kriteria hasil
• Tanda-tanda vital dalam batas normal
• Rasa sakit kepala berkurang
• Kesadaran meningkat
• Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat.
Rencana Tindakan
INTERVENSI RASIONALISASI
Pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal Perubahan pada tekanan intakranial akan dapat meyebabkan resiko untuk terjadinya herniasi otak
Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS. Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjt
Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan hati-hati pada hipertensi sistolik Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler cerebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diiukuti oleh penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
Monitor intake dan output hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan resiko dehidrasi terutama pada pasien yang tidak sadra, nausea yang menurunkan intake per oral
Bantu pasien untuk membatasi muntah, batuk. Anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur. Aktifitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau merubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava
Kolaborasi
Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial, vetriksi cairan dan cairan dapat menurunkan edema cerebral
Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat menyebabkan terjadinya iskhemik serebral
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel, Antibiotika.
Terapi yang diberikan dapat menurunkan permeabilitas kapiler.
Menurunkan edema serebri
Menurunka metabolik sel / konsumsi dan kejang.
Sakit kepala sehubungan dengan adanya iritasi lapisan otak
Tujuan
Pasien terlihat rasa sakitnya berkurang / rasa sakit terkontrol

Kriteria evaluasi
• Pasien dapat tidur dengan tenang
• Memverbalisasikan penurunan rasa sakit.

Rencana Tindakan
INTERVENSI RASIONALISASI
Independent
Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
Menurukan reaksi terhadap rangsangan ekternal atau kesensitifan terhadap cahaya dan menganjurkan pasien untuk beristirahat
Kompres dingin (es) pada kepala dan kain dingin pada mata Dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati-hati Dapat membantu relaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan rasa sakit / disconfort
Kolaborasi
Berikan obat analgesic
Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit. Catatan : Narkotika merupakan kontraindikasi karena berdampak pada status neurologis sehingga sukar untuk dikaji.

Potensial terjadinya injuri sehubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran

Tujuan:
Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran

Rencana Tindakan
INTERVENSI RASIONALISASI
Independent
monitor kejang pada tangan, kaki, mulut dan otot-otot muka lainnya
Gambaran tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat pasien. Melindungi pasien bila kejang terjadi
Pertahankan bedrest total selama fae akut Mengurangi resiko jatuh / terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti; diazepam, phenobarbital, dll.
Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
• Donnad, Medical Surgical Nursing, WB Saunders, 1991
• Kapita Selekta Kedokteran FKUI, Media Aesculapius, 1982
• Brunner / Suddarth, Medical Surgical Nursing, JB Lippincot Company, Philadelphia, 1984